#lempar kunci motor
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pertahankan Motor Miliknya, Pria Ditebas Begal hingga Tewas
Pertahankan Motor Miliknya, Pria Ditebas Begal hingga Tewas
BogorOne.co.id | Kabuapten Bogor – Warga Jalan Bilabong, Kampung Cimanggis, Desa Cimanggis, Kabupaten Bogor, digegerkan penemuan tubuh pria dengan penuh luka yang tergeletak di pinggir jalan dengan sebuah sepeda motor, Minggu 16 Januari 2022. Menurut warga pria tersebut tewas usai ditebas oleh begal lantaran berusaha menyelamatkan kendaraaannya dengan melemparkan kunci ke semak-semak. Baim (34)…
View On WordPress
0 notes
Text
Mendorong motor tiga setengah ka em dengan kondisi ban belakang pecah di pinggir jalanan kota nan terik dan sesekali debu menguar depan muka. Sedang di kepala ada tigabelas ton ocehan dan tuntutan-tuntutan tak bertanggungjawab. Waktu semakin mepet, tak ada tukang tambal ban tak ada penjual minuman, lantas apa yang ada? Kemarahan yang hanya bisa ditahan sesekali sambil mengusap keringat dan geleng-geleng.
Tadi malamnya diburu pertanyaan ini itu tanpa ampun sampai menjelang pagi dan ditutup acara vertigo kambuh lalu dua setengah jam kemudian meluncur ke rumah dosen wali untuk frs-an yang sebenarnya kelasnya sudah penuh semua tapi beliaunya membuka satu kursi sebab muka ini tidak terlihat seperti bocah malas yang telat mengurusi frs tapi memang tak punya waktu. Sejam lagi ditunggu kepala jurusan untuk presentasi program kerja. Dag, dig, dug. Sialan, ban dalam pecah. Kacau sudah.
Akhirnya terlihat seorang pria dengan pakaian berlumur oli. Nah, malaikatku!
Beberapa langkah sebelum memarkir motor sudah diingatkan oleh wanita paruh baya yang menyapu dedaunan kering. "Jangan didengar omongannya, Mas. Rada gila!" Ah, apa benar orang gila punya kompresor dan segala macam alat bongkar motor?
O, hari edan, tak ada henti-hentinya si tukang ban memarahiku yang tak bisa merawat ban dan membodoh-bodohkan mengapa berangkat sendiri di jalanan yang ganas ini. Karena di kepala sudah tak ada ruang lagi untuk menambah masalah meski cuma satu buah dan itu tak amat penting, kulihat saja matanya seperti melihat tumpukan jurnal yang musti disalin malam ini juga. Tak terima dilihati seperti itu, ia lempar kunci ukuran 12 ke depanku. Dasar orang gila, dilanjutkan lagi kerjaannya.
Kondisi handphone sudah macam habis ketahuan memperkosa kasir minimarket saja. Telepon dan pesan masuk membabi buta. Tidak, semua mencari bukan karena peduli. Karena kepentingannya terganggu.
Kutelepon sekretaris untuk menangani beberapa hal yang mestinya kulakukan di sana hari ini. "Makasih, jangan tanya aku di mana!". "Tut", kututup telepon dan bersembilanpuluh kmpj ke kerumunan orang hilang.
Asu kabeh
2 notes
·
View notes
Text
Polisi Gadungan Nakal
Cerita Sex ini berjudul ”Polisi Gadungan Nakal” bokep polisi,polisi bohay,psk sofa,tante bohay,wanita semok,wanita bohay,janda montok,cerita gentot,selingkuh,cerita enak. Tiap pagi, gue lewat depan rumah itu. Makanya, gue tahu penghuninya keluarga muda dengan anak balita satu. Nyonya rumah namanya Yani. Doi lulusan IKIP Seni Tari. Udah lama juga sih gue perhatiin doi. Tapi gue baru kenal ama perempuan Klaten itu lewat lakinya yang pelukis. Doi orangnya nggak cakep-cakep banget. Tapi tampangnya yang khas Jawa, lembut dan pasrah itu bikin gue betah ngelihatin mukanya kalo pas bertamu ke rumahnya. Apalagi dia enak juga diajak ngomong, suaranya itu senada dengan wajah pasrahnya. Gue jadi suka bayangin dia merintih-rintih di bawah siksaan gue. Nah, suatu hari lakinya jadi kaya mendadak karena ada order lukisan dalam jumlah besar. Terus, dia ngontrak rumah sebelah buat Yani sama anaknya. Rumah yang sekarang dijadiin galeri lukis. Doi yang sebelumnya sering cerita kalo lakinya sibuk banget, sekarang cerita repotnya ngurus rumah dan anaknya yang umur 3 tahun sendirian. Itu sebabnya dia ngajak adiknya Poppy dan ponakannya Umi untuk tinggal serumah. Tampang dua cewek itu mirip banget sama Yani, cuma dua-duanya lebih seger dan imut-imut. Akhirnya gue tahu juga kalo di rumah itu, sering cuma ada tiga cewek tadi sama satu anak balita. Nafsu juga gue waktu temen gue ngasih usul yang menarik. Langsung saja gue telepon Yani malem itu. Gue rubah suara gue biar nggak dikenal. “Choirun ada?” “Nggak ada, lagi mancing. Ini siapa ya?” Huh bego, pikirku. Dia kagak tahu kalo lakinya lagi maen sama Linda, tante Chinese yang gatal ! “Mbak Yani sendiri ya?” “Nggak, sama Poppy dan Umi,” “Ya sudah, besok saja,” Tiga temen gue langsung bersorak begitu pasti malam itu lakinya Yani nggak di rumah. Kami berempat pun segera berjalan ke rumah dekat gerbang perumahan itu. Tiga temen gue sudah siap dengan ‘peralatan’nya, lalu mengetuk pintu. Seorang perempuan mengintip dari balik korden. “Siapa ya?” “Kami dari Polres bu, ada yang ingin kami sampaikan,” sahut teman gue yang badannya memang mirip polisi. Tak lama kemudian pintu terbuka, tiga temen gue masuk. Dari jauh gue lihat Poppy dan Umi ikut menemui mereka. “Maaf bu, suami ibu kami tangkap satu jam lalu,” “Lho, kenapa?” Yani terlonjak. “Ia kedapatan menghisap ganja…” “Nggak mungkin!” perempuan itu memekik. “Tapi begitulah kenyataannya. Kami juga dapat perintah menggeledah rumah ini. Ini suratnya,” Yani tak dapat menolak, dibiarkannya ketiga ‘polisi’ itu menggeledah rumahnya. Dasar nakal, seorang temen gue sudah menyiapkan seplastik ganja dan kemudian ia teriak, “Ada di bawah kasur sini, komandan!” Temenku yang paling besar memandang Yani dengan tajam. “Sekarang kalian bertiga ikut ke kantor polisi!” tegasnya. “Tapi…tapi…saya nggak tahu bagaimana barang itu ada di situ…” kata Yani terbata-bata. “Sekarang ibu bantu kami, ikut saja ke kantor polisi, juga dua adik ini,” Akhirnya ketiga cewek itu mau juga ikut, setelah sebelumnya Yani menitipkan anaknya ke Bu Tukiran. Temen gue pinter juga, dia pinjam mobil Feroza Yani dengan alasan mereka cuma bawa motor. Lewat handphone, salah satu temen gue ngasih tahu. “Beres Dan, siap cabut,” katanya. Gue segera pakai topeng ski, ambil kunci mobil dan duduk di belakang stir. Sebelum masuk, kaget juga tiga cewek itu karena tangan mereka diborgol di belakang punggung. “Kami nggak ingin repot nantinya,” alasan temen gue. Hanya beberapa saat saja, mobil pun berjalan. Yani duduk di tengah dengan satu temen gue menjaga pintu. Sedang Poppy dan Umi di belakang dijaga dua lagi temen gue. Baru jalan 100 meteran di jalan menurun ke arah Kasongan, tiga temen gue itu ketawa ngakak. “Gampang banget…” kata mereka. Tentu saja tiga cewek itu bingung. Apalagi Yani kini terpaksa duduk merapat jendela karena dipepet lelaki besar di sebelahnya. “Kalian tidak akan kami bawa ke kantor polisi, seneng kan nggak perlu lihat pistol? Tapi jangan khawatir, nanti kita tunjukin pistol yang lain,” desisnya. “Eh…eh…apa-apaan ini?” Yani ketakutan. “Eiiiiii….awwwhhhh…kuranga jj…awwwhhhh…” Yani menjerit dan meronta, sebab tiba-tiba kedua payudaranya ditangkap dua telapak tangan yang besar, lalu diremas-remas keras seenaknya. Dua gadis di belakang juga menjerit-jerit ketika payudara mereka pun diperlakukan sama. Lelaki itu lalu menyingkapkan jilbab Yani dan dengan nafsu kembali mencengkeram payudara montok itu. Yani makin keras menjerit. Lalu tiba-tiba…breetttt….bagian muka jubah tipisnya koyak sehingga memperlihatkan tonjolan buah dadanya yang berbungkus BH coklat muda. “Wah, susu yang segar,” kata temen gue. “Jangannn…tolong…jangaann. ..” Yani menangis. “Jangan cerewet, kalian bertiga tidak usah bawel, nurut saja atau tempik kalian kuculek pake belati ini!” kali ini temen gue mulai mengancam dengan menyentuhkan ujung belati ke permukaan payudara Yani yang menyembul dari BH-nya. Di belakang, Poppy dan Umi terisak-isak. Blus keduanya sudah lepas, tinggal rok yang menutupi bagian bawah tubuh muda dan mulus itu. Keduanya pun memekik berbarengan ketika penutup dada mereka direnggut hingga putus. “Wah…wah…ini susu yang indah…” kata kedua temen gue di belakang. “Coba lihat punya Nyonya ini…” lanjut mereka. Temen gue di depan pun bertindak cepat, memutus tali antara dua cup BH Yani. Yani terisak, buah dadanya kini telanjang dan…..”Awwwwww….” ia menjerit agak keras ketika kedua putingnya dijepit dan ditarik serta diguncang-guncangkan. Kedua temen gue di belakang ketawa dan ikut-ikutan melakukan hal yang sama pada puting Umi dan Poppy. Yani meronta-ronta tapi sia-sia saja ketika tubuhnya dibaringkan di jok mobil, lalu temen gue duduk di atas perutnya, memunggungi dan menyingkapkan bagian bawah jubahnya. Kedua kaki telanjangnya menendang-nendang, tapi ia kesakitan juga waktu kedua bagian dalam paha mulusnya dicengkeram keras. Ia menjerit lagi waktu selangkangannya yang ditutupi celana dalam putih digebuk sampai bunyi berdebuk. Dengan kasar, jari-jari temen gue menyingkapkan kain segitiga itu hingga memeknya yang berjembut agak lebat terbuka. Tanpa ba bi bu, ditusukkannya telunjuknya ke lubang memek Yani. “Aaaaakhhhh….” Yani menjerit kesakitan. Memeknya yang kering membuat tusukan itu jadi amat menyakitkan. Tapi temen gue itu nekad terus nyodok-nyodok memek yang legit itu. Malah waktu telunjuknya sudah terasa agak licin, dia tambah jari tengah. Lagi-lagi Yani menjerit kesakitan. Tapi nggak kapok juga temen gue itu. Sebentar saja sudah tiga jari yang nyodok-nyodok memek perempuan manja itu. Di belakang, Poppy dan Umi juga merintih-rintih, sebab dua lelaki yang bersama mereka kini mengisap-isap pentil susu mereka sambil terus meremas-remas teteknya yang kenyal. Poppy pertama kali memekik waktu tangan temen gue menelusup sampai ke balik celdamnya dan meremas-remas memeknya sambil sesekali mencabuti jembutnya. Umi akhirnya juga mendapat penghinaan yang sama, bahkan ia merasa klentitnya lecet karena terus diuyel-uyel dengan kasar. Mobil akhirnya sampai ke rumah besar punya temen gue yang asyik ngobok-obok memek Yani. Gue buka pintu belakang mobil. Di dalam, gue liat Poppy dan Umi yang topless, cuman pake rok doank! Dan yang lebih bikin gue kaget lagi, ternyata kontol dua temen gue lagi dijilatin ama dua perawan itu. Toket kedua anak itu kelihatan mulai memerah karena terus diremet-remet. Terang aja gue tersentak, tapi gue sendiri gak bisa berbuat apa-apa lagi! Soalnya gue sendiri nggak tahan, terus ikut mencet pentil kanan Poppy dan pentil kiri Umi. “Nggghhhhh….” dua cewek itu cuma bisa mengerang karena dua kontol ada di mulut mereka. Terus gue buka pintu tengah. Buset, di dalam, temen gue masih asyik menjilati memek Yani dan menyodok-nyodok lubangnya dengan tiga jari. Yani sudah tidak menjerit-jerit lagi. Yang terdengar sekarang cuma rintihannya, persis seperti bayangan gue. Nggak tahan, gue naik, terus gue pegangin kepala perempuan berjilbab itu. “Emut kontol gue, kalau nggak, gue potong tetek lu!” kata gue sambil nyodorin kontol yang udah ngaceng sejak tadi. Tangan kiri gue mencengkeram tetek kanan Yani yang montok sampai ke pangkalnya. Tangan kanan gue menahan kepala Yani biar tetep menghadap kontol. Yani nyerah, dia buka mulutnya. Cepet gue masukin kontol gue sampe ke pangkalnya. “Diemut!” bentak gue sambil menambah tenaga remasan di buah dadanya. Gue ngerasain kenikmatan yang luar bisa banget waktu kontol gue diemut-emutnya sambil merintih-rintih. Biar gampang, sama temen gue tadi, gue gotong cewek itu dan gue lempar ke lantai garasi. Yani menjerit kesakitan dan makin keras jeritannya waktu jubahnya gue lucuti, begitu juga rok dalam dan celdamnya. Terlihatlah memeknya yang terpelihara rapi, dengan bulu-bulu halus yang diatur dengan indahnya. Gue mainkan itilnya yang ada di dalam bibir memeknya sampai dia berkelojotan ke kanan-ke kiri. Sekarang temen gue yang jongkok di depan muka cewek itu dan memaksanya berkaraoke. Dari belakangnya, tanpa banyak bicara, gue langsung ngentot cewek itu. “Aunghhhhhh…” Yani mengerang panjang waktu kontol gue nyodok memeknya sampai mentok. Memeknya lumayan rapet dan legit biarpun dia sudah punya anak satu. Ada seperempat jam gue kocok memeknya pake kontol, terus gue suruh dia nungging. Dari depan, temen gue masih ngentot mulutnya sambil memegangi kepala cewek berjilbab itu. Dari belakang, pemandangan itu bikin gue makin nafsu. Gue remet keras-keras memeknya pake tangan kiri, terus telunjuk kanan gue tusukin ke pantatnya. Yani mengerang lagi waktu gue gerakin telunjuk gue berputar-putar supaya lobang kecil itu jadi lebar. Begitu mulai lebar, gue masukin kontol ke dalamnya. Tubuh Yani mengejang hebat, erangannya juga terdengar amat heboh. Tapi tetep gue paksa kontol gue biar susahnya bukan main. Sampe akhirnya kontol gue masuk sampai ke pangkal, gue tarik lagi sampai tinggal kepalanya yang kejepit. Terus dengan tiba-tiba gue dorong sekuat tenaga. “Aaaaaakhhhhh…..” Yani melepas kontol temen gue dan menjerit keras. Tapi rupanya pas temen gue sampai puncak kenikmatannya. Akibatnya air maninya nyemprot muka Yani sampai belepotan. Cuek, gue genjot terus pantat perempuan montok itu biar dia menangis-nangis kesakitan. Malah sekarang gue peluk dia sambil kedua teteknya gue remes-remes. Temen gue yang barusan nyemprot sekarang malah masukin dua jarinya ke lubang memek Yani dan dipu bokep polisi,polisi bohay,psk sofa,tante bohay,wanita semok,wanita bohay,janda montok,cerita gentot,selingkuh,cerita enak Read the full article
#bokeppolisi#ceritaenak#ceritagentot#jandamontok#polisibohay#psksofa#selingkuh#tantebohay#wanitabohay#wanitasemok
2 notes
·
View notes
Text
Lima Hal yang Harus Kamu Lakukan untuk Mengawali Tahun Baru
Menjelang pergantian akhir tahun, tentunya banyak sekali orang yang ingin berubah. Sebetulnya momen berubah tidak harus menunggu tahun baru. Jika kita harus menunggu pergantian tahun, justru kita bisa rugi besar karena telah melewatkan banyak sekali momen-momen yang bisa memacu kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Tapi meskipun begitu, momen pergantian tahun ini tetap perlu kita jadikan momen untuk mengevaluasi diri; sudah sebaik apa kita di masa lalu, dan akan kearah mana kita akan melangkah. Oleh karenanya, ini adalah beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk mengawali tahun yang baru agar lebih baik.
Awali dengan shalat taubat
Alih-alih mengawali tahun dengan planning dan lain sebagainya, aku justru lebih menyarankan orang untuk mengawali segala bentuk perubahan dengan cara shalat taubat. Seperti yang kamu juga tahu, sebetulnya shalat ini bisa dilakukan setiap hari, di sepertiga malam atau di malam hari sebelum tidur, tapi, karena shalat ini ‘kurang populer’ di kalangan muslim secara general, maka aku merekomendasikan untuk melakukan shalat ini dahulu sebagai pertanda bahwa kita memang betul-betul ingin berubah dan mengakui dosa-dosa kita di hadapan Allah SWT.
Memaafkan kesalahan dan mengapresiasi effort mu di masa lalu
Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu telah melakukan yang terbaik sejauh ini, maka kasih puk puk dulu dong buat dirimu yang sudah berjuang dengan segala effortnya. Kamu hebat!
Kamu sudah terlalu sering mengkritisi dirimu sendiri. Lupa dimana kunci motor, langsung ngomong kamu bodoh. Belum punya progres yang signifikan, langsung ngomong kamu memang terlalu santai. Prestasimu di kuliah atau dunia kerja gitu gitu aja, langsung ngejudge kamu emang nggak berbakat.
Heyy, itu adalah dirimu sendiri loh yang kamu kritik. Jangan terlalu keras kepada diri sendiri.
Coba kamu bayangin kalau kamu punya temen yang super super julid ke kamu. Telat dikit dimarahin, nggak bisa ketemuan dibilang sok sibuk, makan gorengan dikit dibilang nggak jaga tubuh. Apa yang bakal kamu lakuin? Tinggalin kan? Atau lempar bunga sekalian sama potnya? Kalau aku pilih yang kedua sih. hehe.
Haluslah ke diri sendiri, kamu harus menjadi teman terbaik untuk dirimu sendiri. Toh diri ini juga bukan milik kita kan? Itu milik Allah. Masa kita mengkritisi terus amanah yang udah Allah kasih ke kita?
Awali setiap hari dengan positive thinking
Buat janji dulu ya ke diri, bahwa tahun depan kita harus bisa memandang dunia dari sudut pandang yang positif.
Liat temen udah sukses satu per satu “wahh, memang perjuangan mereka berat banget sih dulu, mereka pantes, dan aku bakal nyusul insyaallah”
Lihat bapak tukang parkir, kita bisa nge batin “wahh, luar biasa banget ya perjuangan beliau”
Liat ada anak kolong jembatan jualan tissue “masya allah, mereka adalah orang-orang underprivilege yang harus kita bantu”
Liat ada orang yang bikin mood kita jadi jelek “semoga Allah memberi ampunan terhadap dosaku”
Percaya deh, dunia akan lebih enak untuk ditinggali kalau kita mempunyai sudut pandang yang positive. Jangan dikit-dikit ngeluh. Macet ngeluh, rebutan di KRL ngeluh. Hati, kalau ngga dilatih buat ngerasain yang positif, ya akan terbiasa dengan yang negatif. Yuk kita sama-sama memperbaiki diri.
Buat Roadmap yang jelas sesuai SMART Goals
Kalau kita udah melakukan beberapa hal di atas, barulah kita buat rencana atau list apa aja yang pengin kita capai. Yaa walaupun banyak meme diluar sana yang ngomong bahwa kita ngga usah merencanakan, aku sendiri tetep berpendirian untuk tetap merencanakan sesuatu.
Kejahatan yang direncanakan akan sukses melawan kebaikan yang tidak terencana.
Jadi, jangan asal “wahh aku udah ada niat berubah nih, insyaallah nanti ditolong Allah” ngga gitu konsepnya. Tetep harus direncanakan.
Nah merencanakan sesuatu juga ada strateginya masing-masing. Salah satu caranya adalah memakai SMART Goals. Ini tuh singkatan dari : specific, measurable, achievable, relevant, dan time bound. Coba dalemin lagi ya tentang konsep ini, banyak kok di internet. Jadi misalnya kamu punya goals besar menikah, ya harus jelas, kapan, budgetnya berapa dll. Jangan asal nulis pengin nikah doang. Dan yang paling penting dari menikah juga jangan lupa, SAMA SIAPA? hehe. Nggak lucu kalau udah siap-siap semua ternyata calonnya ngga ada 😭.
Evaluasi 3 Bulanan
Hal yang terakhir ini jarang banget orang ngebahas, EVALUASI!
Layaknya perusahaan yang harus dievaluasi 3 bulan sekali, kita yang berharga ini juga harus punya plan evaluasi diri. Tahu kita udah sejauh mana dan harus bergerak seberapa lama lagi adalah hal yang penting. Itu salah satu skill yang dinamakan self awareness. Jadi lihat lagi checklist bulan Jan-Maret ini, apa yang sudah tercapai, dan apa yang belum tercapai. Kenapa itu tercapai, dan kenapa yang satunya ngga tercapai. Emang harus se mindfull itu kita menjalani hidup. Allah suka loh sama hambanya yang serius memperbaiki diri. Jadi jangan pikir usaha gini ngga ada pahalanya, ada cuy!
Itulah beberapa tips yang bisa kita lakukan dalam menjalani tahun yang baru, semoga kita dimudahkan untuk terus memperbaiki diri yaa!!
—
Day 15/30
Note:
Tulisan ini adalah hasil karyaku mengikuti tantangan 30 Writing Challenge. Selain berbentuk tulisan, aku juga menyempurnakan gagasan yang tertuang disini dalam bentuk gambar seperti yang teman-teman bisa lihat diatas. Gambar tersebut adalah hasil karya Artificial Intelligence yang selalu berkaitan dengan topik yang sedang diangkat, agar bisa lebih membawakan emosinya.
Terimakasih telah membaca!
#motivation#quotes#poetry#literature#writing#original#words#love#relationship#thoughts#lit#prose#inspiring quotes#life quotes#terusberanjak#beranjak#nasihat#nasehat#self reminder#daily reminder#reminder#quoteoftheday#love quotes#poem#aesthetic#30writingchallange#random thoughts#tumblrpost
0 notes
Text
Don’t Say A Word
.
“Can we talk?” Ucapnya seraya mendorong pelan gelas air putih hingga gelas itu ada di hadapan gue.
Ada hening sebentar di antara kami berdua. Matanya masih menatap ke arah gue. Sesekali pandangan kami bertemu, sedikit ditelisik tampaknya gelap sekali lingkaran di bawah matanya. Nih cewek sering begadang apa gimana ya? Tapi mengingat dia anak kedokteran, rasa-rasanya begadang emang sudah hal yang lumrah buat fakultas mereka.
Gue menghela napas panjang. Mengambil gelas di depan gue itu lalu meminumnya barang dua teguk.
“Sebentar kalau gitu.” Balas gue yang kemudian pergi meninggalkannya.
Gue berjalan keluar Bar menuju pintu depan. Gue cukup sedikit kaget melihat ternyata di luar sedang hujan besar. Aduh, motor gue gimana nasibnya ini? Motor jelek begitu kalau kena air udah kaya opak kesiriam air teh, lembek amat. Terakhir nerjang banjir di daerah Pasteur Bandung dulu sepulang kampus, pulang-pulang motor gue jadi sepedah roda tiga wimcycle, kisut.
Dengan gegas gue masukkan papan neon di depan pintu. Lalu memutar knop pengumuman yang menggantung di pintu menjadi close.
Di dalam toko cuma ada 3 lampu yang masih menyala, yaitu di daerah bar sama kasir doang yang emang nyambung mejanya. Sebelum gue kembali ke depan mbak Adele, gue sempatkan memutar satu lagu sejenis instrumental classy modern Jazz dari band Idealism - dont say a word.
Gelas yang berisi air putih tadi gue kosongkan, dan gue ambil botol Bourbon dari lemari kaca lalu menuangkannya sedikit. Tanpa es batu biar lebih kental buat malam-malam hujan begini.
Gue berjalan menghampirinya, berdiri di hadapannya yang lagi terduduk sambil masih dengan posisi yang sama.
“Mau ngomong apa?” Gue teguk sedikit Bourbon gue barusan.
Kami saling berhadap-hadapan. Gue berdiri di depannya, dan ia duduk di sana menatap gue sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke gelas yang sedang gue pegang.
"Ada apa? Keburu malem nih. Gue nggak bawa kunci kos soalnya." Sambung gue lagi.
Dia melirik dingin, "Ngekos di mana?" Tanyanya.
“Bandung.” Jawab gue singkat.
“Ya gue juga tau.”
Lalu kemudian kembali ada hening yang panjang. Kalau boleh jujur gue paling nggak suka keadaan diam lama begini, tapi mau gimana lagi? Di luar lagi hujan besar, gue nggak punya alasan untuk pulang duluan. Dia sih enak pake mobil, lah gue pake motor butut yang kalau diompolin kucing aja langsung ngadat mesinnya.
“Lo angkatan berapa?” Dia kembali angkat bicara sembari memutar-mutarkan gelasnya pelan.
“Sama kok.”
“2010?”
Gue mengangguk. Lalu kemudian dia terlihat berpikir.
“Jurusan?” Tanyanya lagi
“Dago - Kebon Kelapa.”
“GUE NGGAK NANYA JURUSAN ANGKOT! JURUSAN KULIAH!”
“Ooh..” Gue meneguk minuman gue sekali lagi, “Psikologi.”
“Sejak kapan kerja di sini?”
Gue menatapnya bete, “Ngapain sih nanya-nanya? Mau sensus lu?”
“...” Dia terlihat kesal sama balasan gue barusan.
Dengan buru-buru dia merapikan tasnya lalu meninggalkan gue begitu aja dan pergi membuka pintu toko. Namun ia tak langsung keluar, dia diam sebentar di sana.
“Masih hujan.” Kata gue dari jauh.
Dia nengok, lalu menutup pintu itu dan kemudian kembali lagi duduk di tempat yang sama.
Sekarang dia tak banyak bicara, ia menatap ke arah gelas yang sedari tadi gue pegang.
“Bikinin gue yang kaya gitu dong.”
“Nggak.”
“Gue bayar.”
“Nggak. Ribet kalau lo mabok lagi kaya kemarin.”
“Gue bisa jaga diri kok.”
“Nggak. Lagian dispensernya udah mati.” Tukas gue males-malesan.
“Sejak kapan whisky pake dispenser?”
Belum juga melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba gue merasa ada yang geter-geter di meja bar. Sontak gue langsung ngecek hape gue tapi ternyata hape gue masih mati gitu aja.
“Hape lu ya? Ada yang nelepon tuh.” Kata gue.
Dengan sigap dia langsung membuka tasnya yang ia taruh di atas meja bar. Dan ternyata benar, ada satu telepon masuk. Namun bukannya dia angkat, yang ada malah dia lempar gitu aja ke atas meja sambil mendengus kesal.
Walaupun gue tidak peduli, tapi hape mahal gambar buah apel digigit codot yang dilempar gitu aja bikin mata gue langsung ngeliat khawatir ke arah hape itu juga. Mental miskin gue keluar. Ada satu nama yang sama kaya nama yang meneleponnya di hari pertama gue bertemu dia.
Hape itu bergetar lama di atas meja. Berulang kali dia nelepon ulang, namun tetap saja cewek di depan gue ini nggak mau ngangkat itu telepon. Heran dah, cewek ini kalau emang udah gak suka sama cowoknya ya putus aja sih. Ribet amat pake drama kaya begini segala.
“Nggak diangkat?” Tanya gue.
“Males.” Jawabnya singkat sambil tiba-tiba ngerebut gelas gue dan menegaknya begitu aja.
Dan yang seperti gue kira, dia langsung keliatan tersedak. Mau nelen nggak kuat, tapi mau dikeluarin lagi juga nggak mau. Wajar sih, Bourbon diminum sama orang yang nggak pernah nyoba minum itu sebelumnya pasti kaget. Rasanya emang nggak karuan, tapi entah kenapa banyak pelanggan gue yang suka.
Gue menghela napas panjang lalu mengambil gelas itu dari tangannya. Dan dia masih saja keliatan tersiksa sambil berulang kali menghabiskan air putihnya. Nggak pernah minum-minuman begini tapi mau sok-sokan pesen. Cewek kalau udah galau emang kadang otaknya pindah ke tetek.
Gue melihat ke arah hape yang dari tadi terus saja bergetar itu. Lama-lama gue risih juga. Tanpa pikir panjang gue ambil itu hape, gue pencet tombol ijo lalu kemudian menempelkannya di telinga.
“LIFANA!! KAMU DI MANA?!?!”
Tiba-tiba tanpa salam tanpa apa itu cowok langsung nyemprot gitu aja. Mbak Adele di depan gue sontak langsung berusaha merebut telepon itu ketika tau gue mengangkat teleponnya.
“Cari siapa ya?” Balas gue sambil menahan tangan cewek di depan gue yang mulai rusuh ngobok-ngobok muka gue.
“LOH INI SIAPA?! MANA LIFANA?! LO SIAPA?”
“Elo yang siapa.” Gue malah balik nanya.
“GUE PACARNYA LIFANA! LO SIAPA?! ADA MAIN APA LO SAMA LIFANA SAMPE BISA NGANGKAT TELEPONNYA?!”
“Lifana?”
“MANA DIA?!”
“Baru aja dia ketiduran tuh.” Gue melirik ke mbak Adele yang masih rusuh berusaha ngerebut telepon itu.
“HAH?! ANJING LO!! DI MANA LO ANJING!!”
“Kasar amat bos mulutnya. Kebanyakan nelen kertas amplas ya?”
“ANJING! DI MANA LO GUE SAMPERIN LO BANGSAT!!”
“Di Bandung.”
“GOBLOK!! LO SIAPA SETAN!!”
Lah katanya gue setan, terus masih nanya gue siapa coba. Nggak cewek, nggak cowok kalau udah galau begonya emang kebangetan ye.
“Gue?”
“IYA ELO!!”
“Chicken Nugget.”
“NGGAK LUCU ANJING!! KETEMUAN SAMA GUE SEKARANG.”
“Ogah, jadwal gue padet kaya lontong. Dah ah, ngantuk gue. Mau lanjut tidur. Mau titip salam sama Lifana?” Bales gue.
“BRENGSEK!! MATI LO BANGKE!!”
“Oke nanti gue sampein. Assalamualaikum.”
Gue langsung menekan tombol warna merah di layar hapenya dan telepon pun keputus sepihak. Dengan polosnya gue kembalikan hape itu sama cewek di depan gue ini yang ternyata gue baru tau namanya Lifana. Gue kira selama ini namanya Adele. Ah gue memang polos orangnya.
“LO NGAPAIN SIH!!!” Dia langsung ngambil hapenya sambil marah-marah.
“Jawab telepon.”
“NGGAK USAH IKUT CAMPUR BISA NGGAK?!”
“Siap.” Balas gue tanpa peduli dia mau nanggepin apaan.
.
===
.
Gue kembali ke belakang untuk mencuci gelas gue barusan. Mengelapnya sebentar lalu memasukkannya kembali ke rak gelas-gelas di bawah meja kasir. Gue matikan komputer kasir dan dengan begitu maka lagu yang sedari tadi menggema di toko ini langsung redup.
“Pulang gih. Gue mau tutup.” Kata gue tanpa melihat ke arahnya.
Dia masih keliatan kesal di ujung sana, gue cuma sesekali ngelirik lalu kembali menghitung uang yang ada di mesin kasir. Dia keliatan gelisah, berulang kali dia melihat ke arah hapenya. Menelepon entah siapa tapi berulang kali ia mematikan hapenya itu sambil marah-marah.
Dia masih sibuk di sana ngedumel di depan hapenya, menelpon sekali lagi, terus mengumpat karena tidak diangkat. Karena gue merasa hujan sudah sedikit reda, baiknya gue langsung pulang aja. Besok gue harus benerin keran anak kos yang lain. Kata Budi, tadi siang dia mau manggil tukang ledeng, jadi mau nggak mau gue harus jadi mandor buat ngawasin kerjaan itu tukang.
Gue memakai jaket gue sambil masih berdiri di depan meja kasir. Pas gue ngelirik ke si mbak Adele, dia ternyata lagi ngeliatin gue. Dengan terlihat masih sangat kesal, dia berjalan cepat menghampiri dan berdiri di depan meja kasir.
“Lo mau ke mana?!” Dia memukul mesin kasir. Tiba-tiba laci uangnya langsung kebuka.
“Ke Rahmatullah.” Balas gue, dan dia masih menatap gue kesal, “Pulang.” Gue mengoreksi ucapan gue barusan.
Kayaknya gue udah keterlaluan deh. Ah Ryan bego! Ngapain juga lu ikut campur urusan orang lain sih? Lo kan udah janji nggak akan deket sama siapa-siapa kecuali anak kost sama anak UK (Unit Kegiatan). Dan sekarang gue baru merasa menyesali tindakan iseng gue sebelumnya.
“Lo tanggung jawab. Gue nggak mau tau.” Dia menarik lengan jaket gue.
Gue hanya menatapnya. Mendengus sekali lalu melepaskan genggamannya dari jaket gue.
“Iya. Mau tanggung jawab apa?” Bales gue.
“Gue nginep di kossan lo.” Bentak dia.
“HAH?!?! Apa hubungannya anjir?!”
“Lo tau?!” Dia nyodorin layar hapenya ke muka gue. Bener-bener ke muka gue. Idung gue sampe nempel di monitornya. “Liat! Liat ini gara-gara perbuatan lo!” Dia maju mundurin layarnya ke muka gue, dan gue cuma bisa merem melek gara-gara itu hape ngepretin muka gue berkali-kali.
Gue mundur dua langkah, lalu menyipitkan mata melihat ke layar monitor.
Di sana ada satu sms dari nama orang yang tadi teleponnya gue angkat.
“GUE DI DEPAN RUMAH LO!! KELUAR SEKARANG!! GUE TAU LO DI DALEM, MOBIL LO ADA DI SANA!!” Tulis sms itu.
Habis membaca sms barusan, gue langsung melihat ke cewek itu lagi yang keliatannya udah marah banget.
“Gue nggak mau tau! Gue nggak mau dipukulin lagi! Gue nggak mau pulang sekarang!” Teriak dia sedikit lebih kencang.
“....”
“Kenapa nggak ke nginep di rumah temen lo yang lain?” Tanya gue berusaha membuat pilihan lain agar dia tidak harus nginep di kossan gue.
“JAM SEGINI LO PIKIR TEMEN GUE MASIH PADA BANGUN HAH?!” Bentaknya sekali lagi.
Aduh, bener-bener bego lo, Yan. Panjang kan dah kalau gini urusannya.
.
.
.
Bersambung
490 notes
·
View notes
Text
Kawan Bincang
September menjadi titik berangkat awan menumpahkan peluhnya setiap malam, saya tidak lagi menghitungnya seperti musim hujan tahun lalu, barangkali ini adalah salah satu bentuk aktualisasi diri saya untuk berhenti bersikap sentimentil terhadap apapun.
Di suatu malam pukul sebelas lebih sekian, hujan malam yang tidak mendahulukan gerimis itu membuyarkan hampir satu kota. Dalam beberapa waktu, sudut-sudut gang menjadi tempat di mana kegelapan menemukan hidup. Diantara riak berisik bunyi ember dan asbes akibat serbuan hujan, saya sibuk mengubah posisi untuk menghindari bocor genteng rumah saya tapi saya masih belum juga bisa menemukan bahasa yang tepat untuk menceritakan keadaan malam itu. Yang saya paham, saya harus tetap meminum kopi yang saya seduh beberapa jam lalu meski itu tidak benar-benar bisa menghindarkan saya dari gigil.
Saya melewati semua itu dengan perasaan paling tidak masuk akal, dalam situasi seperti yang saya jelaskan tadi, sebagian kita barangkali akan memaknai semuanya dengan memutar ulang ingatan, merenungi kesalahan-kesalahan masa lampau atau memiliki niat untuk masak indomie. Hal-hal semacam itu tidak terjadi pada saya, dalam situasi se-melankolis itu pun saya masih cukup bodoh untuk membuang sisa kopi sebagai alih-alih “supaya punya alasan kenapa saya harus keluar rumah dan beli kopi.”
Agar semuanya tetap berjalan semestinya, saya memberanikan diri untuk keluar, melewati gang-gang gelap dan kali kotor khas pemukiman kumuh dalam upaya membeli rokok dan kopi. Semenjak dunia disatrnoni saban harmal oleh virus yang tak berkesudahan ini, tak pernah ada yang lolos dari kepanikan dan paranoia yang virus ini ciptakan. Saya pun tidak pernah melihat tempat saya tinggal menjadi sesepi ini, persis seperti nekropolis yang diceritakan dalam larik-larik sastra eksil.
Dari tempat saya duduk, di depan warung kelontong yang sudah tutup ini saya melihat seorang anak muda mengendarai motor matic yang saya tebak cicilannya masih tersisa dua tahun lagi, ia memakai hoodie bewarna abu-abu monyet. Nyala lampu motornya sepertinya sengaja dibuat untuk memicingkan mata siapapun yang ada di depannya, sebelum motornya dimatikan saya masih menebak-nebak siapa orang yang berani menyuapi terang yang tak karuan kepada seseorang yang hampir mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Ibunya.
Anak muda itu mematikan motornya, melepas helm dan maskernya yang akhirnya membuat saya berhenti menebak-nebak.
“Udah lama, Ren?”
“Lah, ternyata kamu, saya kirain siapa. Baru nih, liat aja kopi saya masih ada asepnya.”
“Korek dong.”
Saya memeberinya pemantik yang sebenarnya itu milikinya yang ditinggalnya beberapa hari lalu.
“Hujan ya.”
“Kan emang hujan.”
Tidak seperti biasanya, malam itu ia banyak diam, tatapannya kosong lurus melihat bangunan kantor RW yang belum jadi di depannya. Bibirnya getir, tak tahu betul penyebabnya — entah gigil karena hujan atau ada sesuatu yang sebenarnya ia tahan. Ia adalah Akbar, teman satu kelas waktu kami masih di SMK dulu dan kebetulan salah satu orang yang sering menghabiskan waktu dengan saya beserta lima orang teman kami lainnya.
“Baru pulang, Bar? Shift pagi ya?”
“Iya, hari ini capek banget.”
“Bukannya langsung balik aja.”
“Nanti, masih perlu buat ngerasain malam.”
Akbar adalah seorang kasir disalah satu toko retail, pada umur yang baru menginjak dua puluh tahun ia harus merelakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja — semata-mata untuk menjaga senyum juga perut orang tua, anak dan istrinya di rumah. Ia memilih menikah lebih cepat dari kami ber-enam, kami agak jengkel sebenarnya, karena pernikahannya jelas tanpa dasar apapun. Ia tidak benar-benar ingin menikah, maksud saya, ia sama sekali tidak memiliki alasan mengapa ia memangkas masa mudanya. Saat kami tanya mengapa ia menikah muda, Akbar hanya menjawab, “Ya karena pengen aja.”
Meski begitu, kami tetap mendoakan ia dan keluarganya agar selalu baik-baik saja. Setiap ada waktu, saya atau teman saya yang lainnya sering berkunjung kerumahnya untuk menengok atau memberikan hal-hal yang dibutuhkan anak dan istrinya.
Malam terus bergulir, jam yang saya lihat melalui gawai hampir menunjukan angka tiga pagi, kami hanya bergantian meracap kopi dan tidak henti-hentinya menghisap rokok. Akbar menyulut rokoknya dengan gemetar, meski tidak terlalu jelas tapi saya bebar-benar mendengar nafasnya memburu. Saya melihat wajahnya, pipinya basah oleh air mata yang bisa jadi sudah ditahannya dari satu jam lalu, selain pipi dan bibrnya, rokoknya ikut basah pula.
“Saya hampir bunuh diri.”
“Kapan?”
“Seminggu lalu.”
“Kenapa?”
“Banyak hal.”
Saya sangat hati-hati dalam menyambung perkataannya, saya takut kalau perkataan saya hanya akan tambah mengacaukannya. Bukan bermaksud enggan menenangkan niatnya, tapi, ini adalah kali pertama saya menemui seseorang yang memiliki hasrat untuk mengakhiri paksa hidupnya, sudah barang tentu saya belum punya jurus atau kiat-kiat manjur untuk menceramahi atau sekadar mengalihkan fokusnya. Kami kembali diam, alih-alih sibuk mencari-cari hal-hal yang bisa menghibrunya, saya menawarinya kopi lagi tapi ia menolaknya.
“Terus kamu mau apa, Bar?”
“Saya malah tambah bingung kalau ditanya kayak gitu, soalnya saya emang bener-bener ngga tau harus dan mau apa.”
“Bar, saya temen kamu, kamu yang lebih dulu kenal saya dibanding teman kita yang lainnya, tapi, serius, kali ini saya juga nggak paham harus bersikap kayak gimana.”
“Nggak apa, Ren. Saya emang nggak nagih apapun, saya cuma butuh teman ngerokok aja.”
“Terus sebenernya kamu kenapa?”
“Saya malam ini jelas kebingungan, ngga benar-benar tau harus mulai dari mana, tapi buat usaha ngelepas sedikit beban saya cuma mau cerita kalau sudah dua hari anak saya sakit, belum tau sakit apa, belum saya bawa ke klinik karena saya sendiri belum gajian, itu pertama. Terus, selanjutnya, tempat saya kerja kehilangan uang ngga tau berapa jelasnya, yang saya paham uang itu dibawa lari sama karyawan yang beberapa hari lalu resign tanpa izin. Gara-gara kasus itu, saya sama karyawan yang lainnya ikut kena batunya dan harus potong gaji buat enam bulan kedepan.”
“Saya ikut prihatin, Bar. Jadi, apa yang bisa sekiranya saya bantu?”
“Nggak ada, Ren. Tapi, saya minta kamu sama teman-teman kita yang lain buat tetap tengokin anak sama istri saya kalau saya lagi kerja, Ren. Nggak perlu setiap hari, semampu kalian aja.”
“Oke, Bar. Kalau sekiranya kamu butuh sesuatu, kamu bisa cerita Bar. Saya sama teman-teman pasti bantu kalau masih bisa kami jangkau.”
“Ah, ngga perlu, Ren. Semenjak nikah, saya emang udah janji buat ngga bergantung apapun lagi sama siapapun. Kamu bisa bilang egois, tapi ini usaha saya buat menguji diri saya sendiri, Ren. Hal yang biasa kita lakuin sama teman-teman yang lain.”
Saya tidak punya niat untuk membantahnya, menurut saya, itu urusannya dengan dirinya sendiri, terserah dia mau bilang menguji, tanggung jawab atau apalah, tapi saya benar-benar tidak akan menggugat apapun.
Setelah menghabiskan rokok terakhirnya yang basah karena air matanya itu, Akbar memakai helm dan menjangkau kunci motor yang ia gantung di paku tempat biasa pemilik warung kelontong untuk menggantung kaleng kerupuk.
“Yaudahlah, udah hampir pagi, saya pulang deh, Ren.”
“Rokoknya nih, Bar.” saya memberi bungkus rokok miliknya yang barangkali masih tersisa lima atau enam batang di dalamnya.
“Bawa deh, kayaknya ini juga rokok terakhir saya, Ren.”
“Mau hidup sehat, Bar?”
“Hahaha.”
Ia membunyikan klakson motornya sebagai penanda sapaan terakhir sebelum ia jalan pulang, ia memacu sepeda motornya, saya melihat badannya agak dibungkukkan sebagai usaha menghindari hoodienya dari kuyup meskipun saat datang kesini pun pakaiannya tak ada lagi yang terlihat kering.
Setelah membersihkan semua puntung rokok yang tadi saya dan Akbar lempar seenaknya, saya pulang, kali ini kopi yang saya minum tidak benar-benar menjegal kantuk, sesampainya dirumah saya langsung merebah tubuh saya diatas kasur secara serampangan.
Saya bangun dengan keadaan pala yang amat keliyengan karena lupa membilas kepala yang semalam diguyur air hujan, sebetulnya saya pula tidak betul-betul tahu apa membilas kepala dengan air ledeng apa benar bisa menghindarkan saya dari pusing seperti pagi ini. Saya masih duduk di atas kasur, cukup lama dalam keadaan bengong, kemudian mencari-cari gawai yang semalam saya letakan diatas buku The Red Haired Woman milik Orhan Pamuk. Saya melihat ada enam panggilan masuk dari nomor yang tidak saya kenali dan sembilan pesan masuk dari nomor yang sama, saya membuka pesan masuk itu.
“Ren, semalam sama Akbar ya? soalnya dia semalam sms katanya dia lagi ngobrol sama kamu.”
“Ren, Akbar tidur di rumah kamu ya?”
“Ren.”
“Ren, kalau udah bangun tolong bilangin Akbar suruh pulang dulu, ya. Anaknya demamnya tinggi lagi.”
“Ren, Akbar belum bangun juga?”
“Halo. Tolong bales secepetnya Ren kalau udah bangun.”
“Ren, bangungin Akbar. Anaknya rewel nih, badannya juga panas banget.”
“Ya Allah, Ren, tolong dong kalau kamu sama Akbar suruh dia pulang cepet.”
“Rennnnnnnnnnnnnnn.”
0 notes
Text
Terima kasih, A7!
Aku gak pernah menyangka sebelumnya akan dipertemukan dengan tujuh belas orang luar biasa yang mampu membuatku mbrebes mili saat farewell party. Jujur, ini adalah perpisahan paling berat untukku. Andaikan aku bisa mengajukan injury time, aku pasti melakukannya. Meskipun aku tahu, selama apapun aku meminta perpanjangan waktu, aku tetap tidak akan benar-benar siap untuk sebuah perpisahan, apalagi dengan kalian. Aku bukan lagi menganggap kalian teman meskipun kita hanya bersama selama satu periode. Kalian terlampau istimewa untuk sekadar disebut teman. Aku sangat bersyukur bisa dipilih Tuahn untuk berada diantara kalian.
-
Selain belajar English, tujuanku ke Pare adalah untuk menambah teman baru, karena rasa-rasanya relasiku selama satu tahun terakhir sangat terbatas. Aku sampai menyetujui tantangan Riyangga untuk mengenal sekitar dua puluh orang baru selama aku di Pare. Kukira sulit, ternyata itu ez. Entah mengapa Pare bisa membuat Hapsari lebih adaptif dan fleksibel. Ini oleh-oleh yang sangat berharga dari Pare. Sungguh. Pare tidak indah, Pare biasa saja, yang membuat Pare istimewa adalah orang-orang yang membersamaimu selama di sana. Beruntungnya, aku dipertemukan dengan A7, sehingga kesanku terhadap Pare sangat luar biasa. Namun, "Pare Itu Jahat" tetap hal mutlak.
-
"A7... Jumlah laki-lakinya banyak kali!" Itu hal pertama yang terbesit saat memindai nama-nama di daftar kehadiran kelas. Tapi aku tidak berekspektasi apapun tentang bagaimana suasana kelas nantinya. Pikirku, "Paling biasa saja, seperti kelas-kelas yang pernah aku tau." Pada minggu pertama kami belum begitu menggila, tapi kegaduhan memang mulai ada. Aku rasa itu terjadi karena member laki-laki di kelas kami didominasi dari satu camp yang sama: Rosemint. Ada Andre, Bang Yan, Handika, dan Khalid, jadi saat mereka masuk kelas sudah leluasa guyon. Itu cukup meramaikan kelas. Masuk minggu kedua (kalau aku tidak salah mengingat), kelas sudah mulai barbar, dipelopori oleh kemunculan Fivi yang ternyata punya persona yang "sangat tegal". Aku ingat betul bagaimana puasnya Andre terbahak saat di kelas speaking ketika Tegal memulai speech dengan sapaan, "LUR?!" Ditambah lagi, setelahnya Tegal malah mengobral aksen ngapaknya. Makin terpingkal saja Andre. Semenjak hari itu, muncullah istilah "sedulur":) Andre dan Tegal aku nobatkan sebagai emulgator. Mereka mampu menyatukan kami semua, seperti emulgator yang dapat menyatukan minyak dan air. Kami benar-benar nge-blend!
-
Perjalanan dan nongki-nongki sesama A7 di luar kelas jelas membuat kami semakin mengenal satu sama lain. Trip Malang pada 19 Juli lalu aku rasa berhasil mempererat kekeluargaan A7. Di Pantai Tiga Warna, Pantai Gatra, apalagi Rumah Dila, kita selalu menciptakan moment. Aku bingung, entah standard kebahagiaanku yang rendah atau mereka yang sangat ahli memicu tawa. Karena, dengan mereka, permainan sereceh lempar-lemparan kunci motor atau spidol saja berhasil membuat moodku bagus. Tertawa terus. Aku gak pernah gak senang tiap kali masuk kelas. Tapi, meskipun kami barbar, sanjungan-sanjungan para tutor sering datang kepada kami. "Saya senang mengajar di kelas ini. All of u always happy to learn english." (Mr. Akbar). "Nilainya bagus-bagus walaupun materi kita cuma dua hari." (Miss Mei). "Kalian sudah bisa explain seperti expert, beda sama kelas yg itu." (Miss Sari). Aku akan selalu ingat bagaimana riuhnya kelas tiap kali speaking. Aku mesti bersuara keras-keras saat convo dengan partnerku, seolah kami terpisah jarak yang sangat jauh.
-
Tapi, suasana kelas mulai berbeda di minggu terakhir. Diawali dengan kepulangan Bang Yan, lalu Andre si troublemaker terlihat sedih sekali karena itu. Setelahnya Fycy pergi, lanjut Ozan (setauku) pulang ke Malang. Gak hanya itu, A7 pun semakin lesu karena mulai banyak yang skip kelas. Hilang tiga, kami dapat satu. Di minggu kedua, ada anak impor dari A20, Yosua. Biasa dipanggil esua oleh A7. Pendiam, strategi werewolfnya mantap.
-
Semua dari kami gak ada yang bahagia menghadapi perpisahan. Tegal bahkan menggunakan istilah "kejahatan" untuk menyebut "perpisahan". Di minggu terkahir terasa sekali kalau kami selalu berusaha sebisa mungkin menangguhkan perpisahan. Usaha terparah kami ya malam tadi, main di luar sampai jam lima pagi:) Aku tau kalian masih belum mau beranjak bahkan sampai saat ini. Sore tadi bahkan ada yang whatsapp aku, "Aku belum rela kalian pergi. Sekarang aku nangis." Hmm:)
-
Semoga kalian semua sukses, ya. Terima kasih sudah mau jadi temanku selama di Pare. Maaf kalaubaku pernah ngelakuin kesalahan sama kalian. Afiffi semangat di sastra Inggris. Mbak Dila sukses di matematikanya. Tegal semoga bisa hapal 30 juz. Bang Theo harus dapet job yang mantul. Ongki lancar kuliahnya. Uncle ditunggu undangannya. Andre jangan lupa solat. Yosua mesti jadi engineer hebat. Khalid semoga bisa jadi bagian dari Kemenlu. Handika jangan jadi badut terus, jadilah GM Pertamina. Yumna perbanyaklah referensi tebak-tebakannya. Mba Intan fokus fokus trulala. Fini semoga gak bingung memilih lagi. Ajeng kamu jangan lagi-lagi ngedrunk di Bali. Bang Yan segera wisudaaa. Fycy sukses urus bisnisnya. Ozan lancar studinya. Bye, Guys. See u on top.
0 notes
Text
Ujian dari Tuhan
Agustus
Entah kenapa sama bulan ini. Awal pertama dimulai banyak banget senang dan sedih nya. Mungkin lagi di suruh lebih sabar dan mensyukuri apa yang kita punya. Dari kerjaan yang bermasalah sama pihak ketiga, kunci motor yang hilang, orang kantor yang malah lempar batu sembunyi tangan, mantan tunangan Andre yang fitnah lagi sampai semua di blokir dan sekarang?? Rumah yang hampir kebakaran. Ada apa dengan semua ini???? Teguran dari-Mu kah??? Pengen nangis rasanya gatau harus berbagi ke siapa. Nangis pun udah engga keluar cuma bisa berdoa dan berdoa. Dan di jalani tanpa harus Marah ke orang lebih intropeksi diri perlahan semua masalah itu bisa di selesai kan satu per satu. Memang benar jika kita bercerita ke orang lain mereka hanya bisa mendengar dan menenangkan kita, hal yang paling tepat ya cerita ke Tuhanmu di 1/3 malam nya. Keajaiban datang satu per satu. dan bonus nya bulan ini Allah kasih kita kesempatan buat lebih care ke keluarga satu sama lain. Proyek sampingan yang datang menghampiri. Terima kasih Tuhan aku serahkan kepada-Mu rejeki, maut dan jodoh hanya kepadaMu karena aku tau hal terbaik yang akan di berikan kepada-Ku
😇😊
0 notes
Text
BUKU MIMPI 2D BERGAMBAR
Sanepo4d - Bagi para peminat togel pasti tidak asing dengan yang namanya buku mimpi atau disebut juga erek-erek. Banyak para pemain togel yang menggunakan buku mimpi untuk menganalisa mimpinya untuk mendapatkan nomor yang akan dibeli untuk bermain togel. Buku Mimpi Bergambar 2D sangat bermanfaat bagi para penggemar togel untuk menafsirkan arti dari mimpi dan menuangkannya dalam bentuk angka. Apabila mimpi ditafsirkan dengan tepat dan benar maka mereka akan mendapatkan kemenangan yang besar di salah satu situs Agen Togel Online. Selain Buku Mimpi Bergambar 3D, anda juga bisa melihat Buku Mimpi Bergambar 4D. Oleh karena itu buku mimpi ini kami persembahkan untuk mempermudah para togel mania menafsirkan mimpi mereka.
BUKU MIMPI 2D BUKU MIMPI 2D 00 = 97 – 48 – 64 – 98 Puisi – Tapir – Sempritan – Bulan – Kalender – Kumbakarna 01 = 05 – 95 – 12 – 45 Setan – Bandeng – Obor – Jambu Mente – Tangan – Betara Kala 02 = 16 – 53 – 09 – 35 Sarjana – Bekicot – Loncat Tinggi – Wortel – Sandal – Betara Brahma 03 = 32 – 52 – 85 – 25 Orang Mati – Angsa – Loncat Galah – Sawi – Kaki – Subali 04 = 12 – 65 – 05 – 15 Kwan Im – Merak – Lompat Jauh – Kangkung – Balon – Dewi Ratih 05 = 01 – 89 – 10 – 39 Kepala Rampok – Singa – Loncat Indah – Kayu Manis – Kereta Api – Garu Langit 06 = 20 – 91 – 51 – 41 Dewi Bulan – Kelinci – Renang – Kapas – Boneka – Dewi Sri 07 = 24 – 58 – 57 – 08 Pelayan – Babi – Perahu Layar – Bawang – Pancing – Sulastri 08 = 17 – 57 – 04 – 07 Maling Kecil – Macan – Motor Boat – Kecubung – Pasar – Talamaria 09 = 33 – 87 – 88 – 37 Jendral – Kerbau – Mendayung – Kates (Pepaya) – Jala – Bima 10 = 18 – 82 – 03 – 32 Kelenteng – Kelabang – Menyelam – Kelapa – Bir – Sang Pamuji 11 = 15 – 77 – 02 – 27 Menteri Serakah – Anjing – Lari Cepat – Sapu – Kipas – Sengkuni 12 = 04 – 69 – 17 – 19 Penasehat Perang – Kuda – Lari Gawang – Lemon – Bola Lampu – Wibisana 13 = 14 – 79 – 07 – 29 Penjaga Pintu – Gajah – Lari Estafet – Kipas Angin – Keris – Prabukesa 14 = 13 – 96 – 08 – 46 Potong Babi – Onta – Tolak Peluru – Jembatan – Spet (Suntikan) – Jaya Langsuan 15 = 11 – 54 – 00 – 04 Hakim – Tikus – Lempar Martil – Kantor Pos – Sekrup – Kresna 16 = 02 – 74 – 15 – 24 Gudig Pain – Tawon – Disc Disceded – Surat – Nanas – Jembawan 17 = 08 – 88 – 13 – 38 Pemadat – Bangau – Lempar Lembing – Durian – Telepon – Buto Terong 18 = 10 – 78 – 01 – 28 Kas Uang – Kucing – Polo Air – Lombok – Kantor Polisi – Bisma 19 = 27 – 62 – 54 – 12 Pelacur Kelas Tinggi – Kupu Kupu – Sepakbola – Srikaya – Ban Sepeda – Banowati 20 = 06 – 72 – 19 – 22 Istri Sejati – Lalat – Volleyball – Palu – Ban Mobil – Setiawati 21 = 22 – 93 – 55 – 43 Pelacur Umum – Walet – Bulutangkis – Permen – Kapak – Lesmanawati 22 = 21 – 70 – 50 – 20 Piala – Tenis – Tenis – Terong – Harmonica – Arjuna dan Sembadra 23 = 30 – 84 – 81 – 34 Setan Gantung – Kera – Bola Basket – Pisang – Piano – Wilkampana 24 = 07 – 66 – 14 – 16 Sumber Air – Katak – Tenis Meja – Sikat Gigi – Padi – Dewa Ruci 25 = 35 – 85 – 82 – 03 Menantu Raja – Rajawali – Baseball – Jagung – Tapal Gigi – Kangsa God 26 = 31 – 90 – 80 – 40 King – Dragon – Hockey – Algae – Mesin Jahit – Samiaji 27 = 19 – 61 – 06 – 11 Wanita Cantik – Kura Kura – Bola Sodok – Sabun Bubuk – Otak – Dewi Supraba 28 = 29 – 68 – 56 – 18 Pencari Kayu – Ayam – Menembak – Tomat – Jarum – Nakula 29 = 28 – 63 – 53 – 13 Pendeta Sakti – Belut – Panahan – Kursi – Koran – Sidiwacana 30 = 23 – 99 – 58 – 49 Nelayan – Ikan Mas – Angkat Besi – Belimbing – WC – Nagatatmala 31 = 26 – 94 – 59 – 44 Anggota Kelamin – Udang – Senam – Cacing Pita – Sangkar Burung – Yuyu Rumpung 32 = 03 – 60 – 18 – 10 Nujum – Ular – Yudo – Kamar Mandi – Tali – Abiyasa 33 = 09 – 86 – 16 – 36 Pengemis – Laba Laba – Gulat – Gigi – Sabun – Petruk 34 = 36 – 73 – 89 – 23 Orang Buta – Rusa – Silat – Merpati – Jamu – Paru Paru – Destarata 35 = 25 – 75 – 52 – 02 Wanita – Kambing – Tinju – Lambung – Jalan Jalan – Drupadi 36 = 34 – 83 – 87 – 33 Pendeta Wanita – Musang – Balap Sepeda – Manggis – Rumah Obat – Sayempraba 37 = 38 – 59 – 83 – 09 Orang Bongkok – Ikan Gabus – Balap Mobil – Anggur – B.H – Truk – Gareng 38 = 37 – 67 – 84 – 17 Putri Raja – Cendrawasih – Balap Sepeda Motor – Engsel – Drum – Untari 39 = 44 – 55 – 77 – 05 Kekasih – Kalajengking – Balap Kuda – Topi – Bemo – Narasuma 40 = 43 – 76 – 78 – 26 Penolong – Gelatik – Golf – Tang – Peci – Widura 41 = 49 – 56 – 76 – 06 Pahlawan – Kepiting – Lompat Kuda – Lilin – Sabuk – Warsaya 42 = 45 – 97 – 72 – 47 Jejaka Tua – Buaya – Gerak Jalan – Catur – Dokter – Lesmana Widakta 43 = 40 – 71 – 41- 21 Janda Muda – Ikan Suro – Anggar – Mawar – Grendel – Sumbadra 44 = 39 – 81 – 86 – 31 Berandal – Badak – Ski Air – Seruling – Sisir – Citraksa 45 = 42 – 51 – 75 – 01 Pengembara – Banteng – Terbang Layang – Kendi – Tas – Rama 46 = 48 – 64 – 73 – 14 Nenek Moyang – Orang Utan – Terjun Bebas – Sikat – Toko – Hyang Wenang 47 = 50 – 92 – 21 – 42 Banci – Zebra – Upacara Bendera – Tangga – Hotel – Stuna 48 = 46 – 00 – 79 – 50 Si Ceroboh – Landak – Main Catur – Garuk – Gedung Bioskop – Dasamuka 49 = 41 – 80 – 70 – 30 Drakula – Kelelawar – Mendaki Gunung – Cetok – Rok – Betari Durga 50 = 47 – 98 – 74 – 48 Orang Eskimo – Beruang – Pembawa Obor – Pacul – Guru – Bagong 51 = 55 – 45 – 22 – 95 Ahli Filsafat – Kerang – Patelele – Tebu – Celana – Narodo 52 = 66 – 03 – 99 – 85 Raja Laut – Ikan Paus – Main Tali – Matahari – Dompet – Antasena 53 = 82 – 02 – 35 – 75 Penjual Silat – Ikan Duri – Akrobat – Rambutan – Taxi – Abimanyu 54 = 62 – 15 – 95 – 65 Raja Kera – Ikan Lele – Sepatu Roda – Kalung – Dokar – Kera Hanoman 55 = 51 – 39 – 20 – 89 Pertapa – Kangguru – Kasti – Gelang – Kemaron – Raden Seta 56 = 70 – 41 – 71 – 91 Slave – Mermaid – Ringen – Kenanga – Cikar – Limbuk 57 = 74 – 08 – 47 – 58 Anak Sakti – Ulat Sutera – Layang Layang – Sepatu – Ranjang – Gatotkaca 58 = 67 – 07 – 94 – 57 Penari – Cumi Cumi – Main Kelereng- Rumah – Sekolahan – Selir 59 = 83 – 37 – 38 – 87 Putra Raja – Kakak Tua – Dakon – Kedondong – Kaos – Raden Lesmana 60 = 68 – 32 – 93 – 82 Kepala Polisi – Cecak – Karambol – Delima – Handuk – Sentiyaki 61 = 65 – 27 – 92 – 77 Pedagang – Kecoak – Gendongan – Kacamata – Buku – Baladewa 62 = 54 – 19 – 27 – 69 Pagoda – Walang Kadung – Petan – Termos – Selendang Pelangi – Candi Sapta Arga 63 = 64 – 29 – 97 – 79 Pendekar Wanita – Kumbang – Treksando – Bantal – Jendela – Larasati 64 = 63 – 46 – 98 – 96 Dewa Uang – Kuda Laut – Bandulan – Apel – Guling – Betara Indra 65 = 61 – 04 – 90 – 54 Raja Setan – Shark – Kayang – Klompen – Petromak – Kala Srenggi 66 = 52 – 24 – 25 – 74 Dewa Bumi – Jerapah – Sawatan – Sukun – Gelas – Anta Boga 67 = 58 – 38 – 23 – 88 Penjual Daging – Burung Onta – Engrang – Sendok – Korek Api – Abilawa 68 = 60 – 28 – 91 – 78 Pembuat Pedang – Burung Hantu – Panjat Pinang – Pisau – Garpu – Cepot 69 = 77 – 12 – 44-62 tracker – Mimi – Engkleh – Gunting – Mountain – Antareja 70 = 56 – 22 – 29 – 72 Panglima – Keledai – Tarik Tambang – Lampu Minyak – Rumah Makan – Adipati Karna 71 = 72 – 43 – 45 – 93 Pemburu – Macan Tutul – Lempar Karet – Sumur – Baju – Pandu 72 = 71 – 20 – 40 – 70 Dewa Langit – Ikan Terbang – Ik Ol – Kran Air – Arloji – Betara Guru 73 = 80 – 34 – 31 – 84 Tuan Tanah – Semut – Tulupan – Anting Anting – Bintang – Dursasana 74 = 57 – 16 – 24 – 66 Bajak Laut – Pinguin – Setipan – Gentong – Radio – Indrajit 75 = 85 – 35 – 32 – 53 Suami Istri – Bebek – Balapan Lari – Nangka – Lemari – Ratih dan Kamajaya 76 = 81 – 40 – 30 – 90 Jendral Wanita – Nyamuk – Teplekan – Mata – Timbangan – Srikandi 77 = 69 – 11 – 96 – 61 Walikota – Penyu – Bekel – Rings – Umbrella – Togog 78 = 79 – 18 – 46 – 68 Orang Kaya – Ikan Gergaji – Balap Becak – Semangka – Wajan – Lesmana Mandrakumara 79 = 78 – 13 – 43 – 63 Jendral Serakah – Orong Orong – Okol – Jeruk Bali – Kompor – Suyudana 80 = 73 – 49 – 48 – 99 Kepala Desa – Bajing – Apollo – Potlot – Ceret – Semar 81 = 76-44 – 49-94 Penipu – kelinci – Damdama – Hidung – Mug – Aswatama 82 = 53 – 10 – 28 – 60 Gembala – Kuda Nil – As – Telinga – Berlian – Udawa 83 = 59 – 36 – 26 – 86 Ibu Suri – Ikan Layur – Dadu – Kumis – Pipa – Dewi Kunti 84 = 86 – 23 – 39 – 73 Budha – Kalkun – Salto – Mulut – Kacang Tanah – Bagaspati 85 = 75 – 25 – 42 – 52 Wanita Penyihir – Kriket – Hansip Training – Lotus – Door – Sarpakenaka 86 = 84 – 33 – 37 – 83 Dewa maut – Ikan Sampan – Gerak Badan – Salak – Rokok – Yamadipati 87 = 88 – 09 – 33 – 59 Orang Gila – Betet – Kerja Bakti – Botol – Toilet – Buriswara 88 = 87 – 17 – 34 – 67 Dewi Mega – Lamb – Wortel Racing – Sweet Orange – Dish – Wilutama 89 = 94 – 05 – 67-55 Pemabuk – Ikan Flag – berhenti – jeruk – Ember – Dwarawati 90 = 93 – 26 – 68 – 76 Tawanan – Trenggiling – Perempatan Jalan – Pil – Sawah – Shinta 91 = 99 – 06 – 66- 56 Siluman Air – Serigala – Ambulans – Bambu – Toples – Witaksini 92 = 95 – 47 – 62 – 97 Putri Kipas Besi – Ikan Tengiri – Garis Finish – Apokat – Sarung – Siti Sundari 93 = 90 – 21 – 61 – 71 Penjilat – Babi Hutan – Perahu Layar – Kaos Kaki – Lapangan – Durna 94 = 89 – 31 – 36 – 81 Kwan Kong – Ikan Kakap – Pemandian – Jambu – Pen – P.Salya 95 = 92 – 01 – 65 – 51 Petani – Perkutut – Jalan Raya – Kunci – Pisau Cukur – Irawan 96 = 98 – 14 – 63 – 64 Prajurit – Ikan Nus – Laut – Mangga – Minyak Angin – Citrayuda 97 = 00 – 42 – 11 – 92 Raksasa – Tokek – Kali Brantas – Sirsak – Lemari Es – Prahasta 98 = 96 – 50 – 69 – 00 Penjaga Malam – Tongkol – TV – Lengkeng – Kecelakaan – Trijati 99 = 91 – 30 – 60 – 80 Hidung Belang – Burung Jalak – Bayi – Kodak – Meja – Arjuna GAMBAR BUKU MIMPI 2D
Read the full article
0 notes
Text
Kenapa Berkisah #9
Sabtu, 19 Januari 2019
Menjadi seorang full-time freelancer memang penuh tantangan. Terkadang malas, terkadang enggan mengerjakan, tapi sangat butuh upah yang ditawarkan. Mau tak mau mengerjakan, di tengah malam, menjauh dari serial televisi yang menurutku lebih menyenangkan dibanding mengerjakan pekerjaanku. Sedikit-sedikit istirahat, baru kerja beberapa menit inginnya rebahan. Godaannya sangat banyak, walaupun yang harus dikerjakan tidak seberapa memusingkan, tapi rasa malasku sudah terlalu kuat.
Memang lawan yang paling sulit dikalahkan adalah diri sendiri. Aku yang tidak peduli dengan pikiran orang lain nyatanya sangat peduli dengan apa yang aku pikirkan. Melakukan ini apa benefitnya, pertimbangannya adalah kira-kira akan lelah atau tidak. Belum lagi kalau harus pergi ke luar, harus mandi, mengenakan wewangian, makan teratur, mencari kunci motor yang entah di mana karena setiap kali aku selesai pakai, selalu aku lempar begitu saja. Tantangannya banyak!
Tapi walaupun mengeluh, pada akhirnya tetap aku kerjakan, karena jika tidak dikerjakan, bagaimana aku bisa bertahan hidup dengan kerasnya dunia dan rundungan dari diriku sendiri, yang kerap mengejek dengan perkataan “Dasar bego pemalas gendut!”.
Oh ya, ngomong-ngomong berat badanku naik menjadi 68 kilo sekarang, yay. Angka tergendut yang pernah aku capai. Sekarang perutnya menonjol, dan bergerak sedikit rasanya melelahkan....
0 notes
Text
selamanya
saya begitu suka dengan cerpen ini hingga menangis merasakan kesedihan yang samar datangnya mengalir bersama udara. cerpen ini milik Ratri Ninditya, tautan aslinya di: https://kotayanglapar.wordpress.com/2017/03/20/selamanya/. selamat membaca.
Pacar baru suamiku suka kupu-kupu. Aku hanya mengintip sekilas saja saat mereka pergi. Ia memakai kaus lengan panjang ketat motif kupu-kupu. Di punggungnya juga ada tato kupu-kupu yang mengintip sedikit di balik kerah boat neck yang agak melar. Saat ia membonceng motor, bajunya beterbangan seperti kuping gajah yang riang. Ia memakai sepatu datar yang di ujungnya hinggap kupu-kupu sebesar kepalan tangan. Semoga dia tidak terbang di tengah jalan nanti.
“Primordialisme itu kunci kebahagiaan manusia!” katanya bergurau di satu siang yang terik. “Seperti bonobo!!!” balasku. Kami memang suka menonton saluran televisi tanaman dan binatang. Sejak aku keluar rumah sakit, nonton kehidupan hewan dan tumbuhan membantu menenangkan hati. Ada sesuatu tentang cara mereka hidup yang begitu memikatku. Suatu waktu kami menonton sebuah program tentang kehidupan sosial primata dan kami terkesima di sesi kera bonobo. Casual sexadalah cara mereka saling menyapa. Mereka melakukannya dengan cepat, gembira, tanpa drama. Sungguh sederhana hidup sebagai kera.
Aku tidak pernah tahu kapan suamiku membeli motor, tapi aku mengerti alasannya. Motor adalah satu dari harta benda barunya yang tidak akan ada urusannya denganku. Motor adalah kebebasannya, hidup barunya. Yang akan membonceng motornya bukan aku, tapi orang lain: teman-teman baru, perempuan baru. Di lampu merah, perempuan itu akan memeluk pinggangnya lalu berbisik-bisik di telinganya. Mereka lalu tertawa-tawa nyaring sampai terdengar ke mobil-mobil sekitar. Sungguh, suamiku bisa jadi apa saja yang dibutuhkan pasangannya. Jadi intelek. Jadi pragmatis. Jadi happy-go-lucky. Jadi pemurung. Jadi hipster. Jadi alay. Dia seperti boneka hello kitty yang dibuat tanpa garis mulut supaya pemiliknya bisa mengatribusikan emosi apa pun yang dirasa cocok untuk melengkapi perasaannya saat itu. Yang pasti, sosok suamiku naik motor adalah sosok yang sudah sama sekali tidak kukenal karena saat itu, di atas motor itu, dia bukan milikku.
Gelas kesayanganku adalah benda pertamaku yang hilang di rumah. Aku menyadarinya di satu Minggu siang yang panas. Aku mendorong kursi rodaku dengan malas ke dapur, ingin ambil minum. Tanganku meraih rak tempat gelas itu biasa kusimpan. Gelas enamel berkuping dilukis bunga merah dan biru. Tapi tempat itu kosong. Aku menatap tumpukan piring di bak cuci. Kebiasaannya tidak berubah. Mungkin sudah seminggu tumpukan itu ada di situ. Dulu aku sering jadikan itu bahan ribut kalau badanku terasa tidak enak. Tapi sekarang aku biarkan saja. Aku mencuci piringku. Dia mencuci piringnya. Terserah kapan. Kami urus urusan kami masing-masing.
Di tahun pertama setelah aku keluar rumah sakit, kami masih sering melakukan beberapa ritual suami-istri. Di pagi hari Rabu dan Jumat kami lari keliling kebun raya sambil menyanyi lagu cengeng keras-keras (lebih tepatnya dia yang lari sementara aku mengikuti di kursi rodaku sambil memasang YouTube karaoke). Setelah merasa cukup lelah, kami lalu makan mi ayam atau soto mi babi di Surya Kencana. Sesudah perut kami keras kekenyangan, ia membopongku ke kursi penumpang di mobil, melipat kursi roda, menyimpannya di bagasi, lalu menyetir pulang.
Perempuan kupu-kupu itu melingkarkan jemari lentiknya di kuping gelas enamelku. Ia menenggak langsung isinya lalu lidahnya terbakar. Ujung-ujung rambutnya yang keparat menempel di mulutnya yang basah. Lalu suamiku itu akan menciumi lidahnya karena walaupun tidak akan cepat sembuh tapi paling tidak dua-duanya sama-sama enak.
Sebelum program pisah kamar ini terjadi, jika aku sedang rindu Jakarta, aku ikut dia naik kereta. Tapi aku malas turun karena layanan publik di mana pun di negeri ini tidak ramah kursi roda. Aku malas harus dilayani berlebihan oleh laki-laki berseragam yang merasa tugas mulianya terlaksana jika bisa melindungi perempuan. Yang kulakukan hanya memandang tiang listrik dan genteng-genteng dekil dari balik jendela, dibingkai oleh wajah-wajah yang enggan dan kesepian menuju kerja. Lalu aku kembali lagi ke Bogor dengan kereta yang sama. Di stasiun Bogor, aku bisa melakukan semuanya sendirian. Petugasnya hapal wajahku dan kursi rodaku. Mereka tahu aku tidak ingin diganggu. Biasanya aku berkeliling sekitar stasiun dan menikmati kesendirian sampai dia pulang kerja. Jajan bakso goreng. Berteduh di taman Pramuka. Malamnya, kami kembali ke rumah. Di akhir pekan kami belanja di supermarket lalu aku akan memasak sesuatu yang dia suka. Kami makan bersama di depan tv lalu tertidur di sofa. Hari berlalu begitu cepat dan dia jadi resah setelah matahari terbenam. Malamnya dia memandikan aku dengan terburu-buru lalu berbaring sambil buka handphonenya di sebelahku.
Aku mulai kehilangan beberapa potong baju. Yang pertama adalah terusan garis-garis hijau limun pendek. Lalu jeans pendek berlogo Paul Smith bajakan. Lalu kaus kaki bebek. Suatu sore tukang laundry kiloan datang mengantar pakaian bersih. Seperti biasa, aku membukanya untuk memisahkan mana pakaian suamiku dan mana punyaku. Aku menemukan semuanya di situ. Di situ! Semua pakaian lamaku yang dulu selalu kupakai saat masih segar bugar tegak berdiri! Kenapa dicuci? Siapa yang pakai? Perempuan itu? Brengsek! Aku lempar semuanya di tangga, lalu masuk kamar kunci pintu. Malamnya, kudengar langkah kaki terhenti di tangga, lalu lanjut naik lagi tanpa kata-kata. Paginya, baju-baju itu sudah tidak ada. Ia simpan di dalam lemarinya yang berharga di lantai dua.
Dengan gaun pendek garis-garis hijau milikku perempuan itu duduk di kursi makanku. Kakinya tidak terlalu panjang tapi kering dan halus rajin diwax. Telapak kakinya dibungkus kaos kaki bebek tanpa sepatu. Dia bukan tipe perempuan yang ragu duduk saat pakai rok pendek. Atau mungkin dia sudah terlalu nyaman dengan suamiku. Suamiku di depan kompor mencoba jadi lelaki postmodern yang tidak keberatan memasak untuk perempuan. Tapi ia hanya tahu masak dengan tepung ayam goreng instan dan menyalakan api terlalu besar. Saat ayam dimasukkan minyaknya menyiprat ke segala arah. Lalu dengan tawa nyaringnya perempuan itu tertawa mengambil lap dapur dan menyeka-nyeka tangan suamiku yang terbakar minyak. Setelah mereka selesai saling menyeka, ayam goreng itu sudah kehitaman di dalam wajan. Mereka lupa dengan laparnya dan naik ke atas menyelesaikan semuanya.
Memang aku yang menawarkan proposal bonobo padanya. Kupikir kalau orang-orang Bloomsbury itu bisa melakukan praktik pernikahan terbuka di awal 1900-an, kenapa kami tidak. Dia bilang gaya hidup itu hanya milik mereka yang tidak perlu memikirkan makan dan cicilan. Dia tampak terluka dan sedikit tersinggung. Di masa itu uang mulai jadi masalah. Aku belum bisa bekerja tetap. Aku merasa sesak harus bergantung padanya terus. Aku mulai menolak dibantu mandi, dibantu apa pun. Kedua lenganku mulai mengeras, membesar ke ukuran mengkhawatirkan. Semua mulai terasa seperti sandiwara payah di mana aku jadi jompo sekarat dan dia cucu yang terpaksa mengurus hari-hari terakhirku. Kami makin sering bertengkar. Aku teriak. Ia balas teriak. Kami berargumen sampai bingung sendiri apa yang membuat kami marah awalnya. Saat itu aku belum tahu kalau dalam adu mulut, masalah sebenarnya memang jadi yang paling jarang terucapkan.
Perempuan itu makin sering ke rumah. Di awal dia cuma berani datang malam, saat mereka kira aku tidur. Lama-kelamaan, ia mulai berkunjung di akhir pekan. Sekarang hampir tiap malam kudengar langkah kaki dua orang di atas. Mereka tertawa terbahak-bahak. Aku tidak bisa tidur, mereka berisik sekali. Tapi yang paling membuatku sulit memejamkan mata adalah karena aku kenal suara itu, cara perempuan itu tertawa, aku sering sekali mendengarnya. Suara mereka berputar-putar terus di kepalaku sampai pagi, tetap aku tidak menemukan jawaban suara siapa itu. Karena aku tidak pernah berani melihat wajah perempuan itu. Aku tidak mau tahu siapa namanya, kerja di mana, dan lain sebagainya. Tapi semakin hari dia makin terdengar seperti orang yang pernah kudengar lama.
Mereka melakukannya tanpa suara. Suamiku itu akan dengan lembut menanggalkan satu per satu pakaian perempuan itu, membaringkannya di atas tempat tidur, menciuminya dari kepala sampai kaki. Tapi, perempuan itu tidak sama sabarnya. Ia akan mengarahkan kepala suamiku ke tempat-tempat yang ia paling suka. Lalu mereka melakukannya berulang kali sampai pagi.
Satu pagi setelah terjaga semalaman, suamiku tampak ceria. Ia membuatkan aku telur mata sapi untuk sarapan, seolah-olah hari ini begitu spesial. Kami bahkan sempat mengobrol sebentar di meja makan, seperti masa lalu. Perempuan itu sudah tidak ada. Mungkin ia harus berangkat kerja dari subuh. Terserahlah, aku terlalu ngantuk untuk berpikir. Karena moodku sedang bagus, aku mengantarkan suamiku sampai gerbang dan menutupnya, seperti istri teladan.
Aku hampir sampai di kamar ketika mendengar suara-suara di lantai atas. Aku meyakinkan diri itu cuma tikus dan masuk ke kamar. Tapi kemudian terdengar lagu sayup-sayup dari lantai atas. Instant Crush. Aku langsung tahu dari intro yang samar-samar. Dulu aku selalu memutarnya di pagi seperti ini, saat aku sendirian bersiap kerja dan suamiku sudah pergi duluan. Suara pintu lemari terbuka dan menutup. Aku keluar kamar. Kudekatkan kursi rodaku ke tangga. Perempuan itu masih di atas? Hahah. Sepertinya suamiku sudah pintar menjalankan hidup ala Woolf sisters ini. Manis-manis denganku, sementara pacarnya masih tiduran di seprai bekas semalam entah ngapain. Mungkin sudah saatnya aku kenalan saja sama perempuan ini. Sekalian minta supaya dia berhenti pakai baju-baju lamaku. Hanya karena aku sudah tidak memakainya bukan berarti baju itu jadi barang amal. Aku akan naik tangga ini, pakai kedua tanganku. Aku meluncurkan diriku dari kursi roda ke anak tangga pertama. Satu per satu kunaiki anak tangga dengan kekuatan dua lengan super ini. Keringatku mulai bercucuran setengah jalan. Sudah tanggung, kulanjutkan tanpa lama-lama beristirahat.
Dari balik pintu kamar utama yang setengah terbuka perempuan itu bersenandung sambil menari kecil. Ia meraih tas yang tergantung di dinding dan berjalan keluar menuju pintu. Aku tergopoh-gopoh bersembunyi di pintu kamar mandi. Tanganku terkilir karena gerakan yang mendadak. Ia seperti lupa sesuatu, kembali ke kamar mematikan player. Turun tangga dan menutup pintu. Saat ia keluar kamar untuk yang kedua kalinya itulah pertama kali aku benar-benar melihat wajahnya: wajah yang tiap hari kulihat saat berkaca.
Dengan gaun pendek garis-garis hijau aku duduk di kursi makan itu. Kakiku tidak terlalu panjang tapi kering dan halus rajin diwax. Telapak kakiku dibungkus kaos kaki bebek tanpa sepatu. Aku bukan tipe perempuan yang ragu duduk saat pakai rok pendek. Aku sudah terlalu nyaman denganmu. Kamu di depan kompor mencoba jadi lelaki postmodern yang tidak keberatan memasak untuk perempuan. Tapi kamu hanya tahu masak dengan tepung ayam goreng instan dan menyalakan api terlalu besar. Saat ayam dimasukkan minyaknya menyiprat ke segala arah. Lalu aku tertawa nyaring mengambil lap dapur dan menyeka-nyeka tanganmu yang terbakar minyak. Setelah kita selesai saling menyeka, ayam goreng itu sudah kehitaman di dalam wajan. Kita lupa dengan lapar dan naik ke atas menyelesaikan semuanya, melakukannya tanpa suara. Kamu dengan lembut menanggalkan satu per satu pakaianku, membaringkanku di atas tempat tidur, menciumku dari kepala sampai kaki. Tapi, aku mengarahkan kepalamu ke tempat-tempat yang paling kusuka.
Tadinya aku hanya datang ke kosanmu di malam hari. Lama-kelamaan, aku di sana seharian saat akhir pekan. Kita terjaga semalaman, tertawa terbahak-bahak. Apa pun jadi lucu saat berdua. Minum teh kepanasan sampai lidah terbakar pun lucu. Kami menari, berciuman, melakukannya di mana-mana, tertawa lagi, hidup begitu sederhana seperti kera.
Di kencan pertama kita, aku memakai baju motif kupu-kupu. Lalu kita melihat kupu-kupu hinggap di kakiku. Kamu memotretnya dan posting di instagrammu, captionnya: pacarku suka kupu-kupu.
0 notes
Text
Polisi Gadungan Nakal
Cerita Sex ini berjudul ”Polisi Gadungan Nakal” polisi sex ,aku dientot,aplikasi chat mesum,cerita aku dientot,cerita selingkuh nikmat,chat mesum,cerita bokep nyata,kisah ngesex,sek bebas pelajar bandung youtube. Tiap pagi, gue lewat depan rumah itu. Makanya, gue tahu penghuninya keluarga muda dengan anak balita satu. Nyonya rumah namanya Yani. Doi lulusan IKIP Seni Tari. Udah lama juga sih gue perhatiin doi. Tapi gue baru kenal ama perempuan Klaten itu lewat lakinya yang pelukis. Doi orangnya nggak cakep-cakep banget. Tapi tampangnya yang khas Jawa, lembut dan pasrah itu bikin gue betah ngelihatin mukanya kalo pas bertamu ke rumahnya. Apalagi dia enak juga diajak ngomong, suaranya itu senada dengan wajah pasrahnya. Gue jadi suka bayangin dia merintih-rintih di bawah siksaan gue. Nah, suatu hari lakinya jadi kaya mendadak karena ada order lukisan dalam jumlah besar. Terus, dia ngontrak rumah sebelah buat Yani sama anaknya. Rumah yang sekarang dijadiin galeri lukis. Doi yang sebelumnya sering cerita kalo lakinya sibuk banget, sekarang cerita repotnya ngurus rumah dan anaknya yang umur 3 tahun sendirian. Itu sebabnya dia ngajak adiknya Poppy dan ponakannya Umi untuk tinggal serumah. Tampang dua cewek itu mirip banget sama Yani, cuma dua-duanya lebih seger dan imut-imut. Akhirnya gue tahu juga kalo di rumah itu, sering cuma ada tiga cewek tadi sama satu anak balita. Nafsu juga gue waktu temen gue ngasih usul yang menarik. Langsung saja gue telepon Yani malem itu. Gue rubah suara gue biar nggak dikenal. “Choirun ada?” “Nggak ada, lagi mancing. Ini siapa ya?” Huh bego, pikirku. Dia kagak tahu kalo lakinya lagi maen sama Linda, tante Chinese yang gatal ! “Mbak Yani sendiri ya?” “Nggak, sama Poppy dan Umi,” “Ya sudah, besok saja,” Tiga temen gue langsung bersorak begitu pasti malam itu lakinya Yani nggak di rumah. Kami berempat pun segera berjalan ke rumah dekat gerbang perumahan itu. Tiga temen gue sudah siap dengan ‘peralatan’nya, lalu mengetuk pintu. Seorang perempuan mengintip dari balik korden. “Siapa ya?” “Kami dari Polres bu, ada yang ingin kami sampaikan,” sahut teman gue yang badannya memang mirip polisi. Tak lama kemudian pintu terbuka, tiga temen gue masuk. Dari jauh gue lihat Poppy dan Umi ikut menemui mereka. “Maaf bu, suami ibu kami tangkap satu jam lalu,” “Lho, kenapa?” Yani terlonjak. “Ia kedapatan menghisap ganja…” “Nggak mungkin!” perempuan itu memekik. “Tapi begitulah kenyataannya. Kami juga dapat perintah menggeledah rumah ini. Ini suratnya,” Yani tak dapat menolak, dibiarkannya ketiga ‘polisi’ itu menggeledah rumahnya. Dasar nakal, seorang temen gue sudah menyiapkan seplastik ganja dan kemudian ia teriak, “Ada di bawah kasur sini, komandan!” Temenku yang paling besar memandang Yani dengan tajam. “Sekarang kalian bertiga ikut ke kantor polisi!” tegasnya. “Tapi…tapi…saya nggak tahu bagaimana barang itu ada di situ…” kata Yani terbata-bata. “Sekarang ibu bantu kami, ikut saja ke kantor polisi, juga dua adik ini,” Akhirnya ketiga cewek itu mau juga ikut, setelah sebelumnya Yani menitipkan anaknya ke Bu Tukiran. Temen gue pinter juga, dia pinjam mobil Feroza Yani dengan alasan mereka cuma bawa motor. Lewat handphone, salah satu temen gue ngasih tahu. “Beres Dan, siap cabut,” katanya. Gue segera pakai topeng ski, ambil kunci mobil dan duduk di belakang stir. Sebelum masuk, kaget juga tiga cewek itu karena tangan mereka diborgol di belakang punggung. “Kami nggak ingin repot nantinya,” alasan temen gue. Hanya beberapa saat saja, mobil pun berjalan. Yani duduk di tengah dengan satu temen gue menjaga pintu. Sedang Poppy dan Umi di belakang dijaga dua lagi temen gue. Baru jalan 100 meteran di jalan menurun ke arah Kasongan, tiga temen gue itu ketawa ngakak. “Gampang banget…” kata mereka. Tentu saja tiga cewek itu bingung. Apalagi Yani kini terpaksa duduk merapat jendela karena dipepet lelaki besar di sebelahnya. “Kalian tidak akan kami bawa ke kantor polisi, seneng kan nggak perlu lihat pistol? Tapi jangan khawatir, nanti kita tunjukin pistol yang lain,” desisnya. “Eh…eh…apa-apaan ini?” Yani ketakutan. “Eiiiiii….awwwhhhh…kuranga jj…awwwhhhh…” Yani menjerit dan meronta, sebab tiba-tiba kedua payudaranya ditangkap dua telapak tangan yang besar, lalu diremas-remas keras seenaknya. Dua gadis di belakang juga menjerit-jerit ketika payudara mereka pun diperlakukan sama. Lelaki itu lalu menyingkapkan jilbab Yani dan dengan nafsu kembali mencengkeram payudara montok itu. Yani makin keras menjerit. Lalu tiba-tiba…breetttt….bagian muka jubah tipisnya koyak sehingga memperlihatkan tonjolan buah dadanya yang berbungkus BH coklat muda. “Wah, susu yang segar,” kata temen gue. “Jangannn…tolong…jangaann. ..” Yani menangis. “Jangan cerewet, kalian bertiga tidak usah bawel, nurut saja atau tempik kalian kuculek pake belati ini!” kali ini temen gue mulai mengancam dengan menyentuhkan ujung belati ke permukaan payudara Yani yang menyembul dari BH-nya. Di belakang, Poppy dan Umi terisak-isak. Blus keduanya sudah lepas, tinggal rok yang menutupi bagian bawah tubuh muda dan mulus itu. Keduanya pun memekik berbarengan ketika penutup dada mereka direnggut hingga putus. “Wah…wah…ini susu yang indah…” kata kedua temen gue di belakang. “Coba lihat punya Nyonya ini…” lanjut mereka. Temen gue di depan pun bertindak cepat, memutus tali antara dua cup BH Yani. Yani terisak, buah dadanya kini telanjang dan…..”Awwwwww….” ia menjerit agak keras ketika kedua putingnya dijepit dan ditarik serta diguncang-guncangkan. Kedua temen gue di belakang ketawa dan ikut-ikutan melakukan hal yang sama pada puting Umi dan Poppy. Yani meronta-ronta tapi sia-sia saja ketika tubuhnya dibaringkan di jok mobil, lalu temen gue duduk di atas perutnya, memunggungi dan menyingkapkan bagian bawah jubahnya. Kedua kaki telanjangnya menendang-nendang, tapi ia kesakitan juga waktu kedua bagian dalam paha mulusnya dicengkeram keras. Ia menjerit lagi waktu selangkangannya yang ditutupi celana dalam putih digebuk sampai bunyi berdebuk. Dengan kasar, jari-jari temen gue menyingkapkan kain segitiga itu hingga memeknya yang berjembut agak lebat terbuka. Tanpa ba bi bu, ditusukkannya telunjuknya ke lubang memek Yani. “Aaaaakhhhh….” Yani menjerit kesakitan. Memeknya yang kering membuat tusukan itu jadi amat menyakitkan. Tapi temen gue itu nekad terus nyodok-nyodok memek yang legit itu. Malah waktu telunjuknya sudah terasa agak licin, dia tambah jari tengah. Lagi-lagi Yani menjerit kesakitan. Tapi nggak kapok juga temen gue itu. Sebentar saja sudah tiga jari yang nyodok-nyodok memek perempuan manja itu. Di belakang, Poppy dan Umi juga merintih-rintih, sebab dua lelaki yang bersama mereka kini mengisap-isap pentil susu mereka sambil terus meremas-remas teteknya yang kenyal. Poppy pertama kali memekik waktu tangan temen gue menelusup sampai ke balik celdamnya dan meremas-remas memeknya sambil sesekali mencabuti jembutnya. Umi akhirnya juga mendapat penghinaan yang sama, bahkan ia merasa klentitnya lecet karena terus diuyel-uyel dengan kasar. Mobil akhirnya sampai ke rumah besar punya temen gue yang asyik ngobok-obok memek Yani. Gue buka pintu belakang mobil. Di dalam, gue liat Poppy dan Umi yang topless, cuman pake rok doank! Dan yang lebih bikin gue kaget lagi, ternyata kontol dua temen gue lagi dijilatin ama dua perawan itu. Toket kedua anak itu kelihatan mulai memerah karena terus diremet-remet. Terang aja gue tersentak, tapi gue sendiri gak bisa berbuat apa-apa lagi! Soalnya gue sendiri nggak tahan, terus ikut mencet pentil kanan Poppy dan pentil kiri Umi. “Nggghhhhh….” dua cewek itu cuma bisa mengerang karena dua kontol ada di mulut mereka. Terus gue buka pintu tengah. Buset, di dalam, temen gue masih asyik menjilati memek Yani dan menyodok-nyodok lubangnya dengan tiga jari. Yani sudah tidak menjerit-jerit lagi. Yang terdengar sekarang cuma rintihannya, persis seperti bayangan gue. Nggak tahan, gue naik, terus gue pegangin kepala perempuan berjilbab itu. “Emut kontol gue, kalau nggak, gue potong tetek lu!” kata gue sambil nyodorin kontol yang udah ngaceng sejak tadi. Tangan kiri gue mencengkeram tetek kanan Yani yang montok sampai ke pangkalnya. Tangan kanan gue menahan kepala Yani biar tetep menghadap kontol. Yani nyerah, dia buka mulutnya. Cepet gue masukin kontol gue sampe ke pangkalnya. “Diemut!” bentak gue sambil menambah tenaga remasan di buah dadanya. Gue ngerasain kenikmatan yang luar bisa banget waktu kontol gue diemut-emutnya sambil merintih-rintih. Biar gampang, sama temen gue tadi, gue gotong cewek itu dan gue lempar ke lantai garasi. Yani menjerit kesakitan dan makin keras jeritannya waktu jubahnya gue lucuti, begitu juga rok dalam dan celdamnya. Terlihatlah memeknya yang terpelihara rapi, dengan bulu-bulu halus yang diatur dengan indahnya. Gue mainkan itilnya yang ada di dalam bibir memeknya sampai dia berkelojotan ke kanan-ke kiri. Sekarang temen gue yang jongkok di depan muka cewek itu dan memaksanya berkaraoke. Dari belakangnya, tanpa banyak bicara, gue langsung ngentot cewek itu. “Aunghhhhhh…” Yani mengerang panjang waktu kontol gue nyodok memeknya sampai mentok. Memeknya lumayan rapet dan legit biarpun dia sudah punya anak satu. Ada seperempat jam gue kocok memeknya pake kontol, terus gue suruh dia nungging. Dari depan, temen gue masih ngentot mulutnya sambil memegangi kepala cewek berjilbab itu. Dari belakang, pemandangan itu bikin gue makin nafsu. Gue remet keras-keras memeknya pake tangan kiri, terus telunjuk kanan gue tusukin ke pantatnya. Yani mengerang lagi waktu gue gerakin telunjuk gue berputar-putar supaya lobang kecil itu jadi lebar. Begitu mulai lebar, gue masukin kontol ke dalamnya. Tubuh Yani mengejang hebat, erangannya juga terdengar amat heboh. Tapi tetep gue paksa kontol gue biar susahnya bukan main. Sampe akhirnya kontol gue masuk sampai ke pangkal, gue tarik lagi sampai tinggal kepalanya yang kejepit. Terus dengan tiba-tiba gue dorong sekuat tenaga. “Aaaaaakhhhhh…..” Yani melepas kontol temen gue dan menjerit keras. Tapi rupanya pas temen gue sampai puncak kenikmatannya. Akibatnya air maninya nyemprot muka Yani sampai belepotan. Cuek, gue genjot terus pantat perempuan montok itu biar dia menangis-nangis kesakitan. Malah sekarang gue peluk dia sambil kedua teteknya gue remes-remes. Temen gue yang barusan nyemprot sekarang malah masukin dua jarinya ke lubang memek Yani dan dipu polisi sex ,aku dientot,aplikasi chat mesum,cerita aku dientot,cerita selingkuh nikmat,chat mesum,cerita bokep nyata,kisah ngesex,sek bebas pelajar bandung youtube, Read the full article
#akudientot#aplikasichatmesum#ceritaakudientot#ceritabokepnyata#ceritaselingkuhnikmat#chatmesum#kisahngesex#polisisex#sekbebaspelajarbandungyoutube
0 notes
Photo
DPO Curanmor Ditembak, Pelaku Sempat Lempar Bom Molotov ke Warga
MALANGTODAY.NET - Melawan saat ditangkap, DPO kasus curanmor, M Slamet alias Mat (29) warga Tempuran, Pasrepan, Pasuruan, harus menerima tembakan petugas Polda Jatim pada kedua lututnya. Sementara rekannya, DS (17) dan Suhadak (25) sudah tertangkap terlebih dahulu pada Juli 2017 lalu. Para pelaku diketahui beraksi di Jalan Mayjen Panjaitan Penanggungan (Betek) Gang 18. Saat itu, Mat bersama kedua rekannya itu mengincar sebuah motor yang terparkir di sebuah rumah. Karena aksinya berada dikawasan padat penduduk, DS bertugas untuk mengawasi keadaan sekitar dengan duduk di atas sepeda motor yang digunakan beraksi. Sebelum membawa kabur sepeda motor korban, Mat merusak kunci rumah. Sementara itu Suhadak memasang kawat di depan pintu rumah. Mereka melakukan itu agar aksinya berjalan lancar. Sebab ketika penghuni rumah tahu motornya diambil, mereka akan kesulitan mengejar para tersangka. "Waktu itu, aksi mereka diketahui warga, kemudian mereka melemparkan bondet (bom molotov) ke warga. Setelah dikejar, dua pelaku berhasil ditangkap di Tembalangan (Lowokwaru)," kata Kanit Reskrim Polsek Klojen, AKP Irwan Tjatur, beberapa saat lalu. Setelah berhasil ditangkap, akhirnya pelaku Mat bisa berkumpul satu sel dengan Suhadak dan DS. Hal itu karena Polda Jatim melimpahkan berkas kasus tersangka Mat ke Polsek Klojen. "Dua tersangka dijerat pasal 363 KUHP pencurian dengan pemberatan, ancaman hukuman maksimal 7 tahun. Sementara DS ditahan di UPPA Polres Makota karena masih di bawah umur," jelasnya.(yog/end)
Source : https://malangtoday.net/malang-raya/kota-malang/dpo-curanmor-ditembak-pelaku-sempat-lempar-bom-molotov-ke-warga/
MalangTODAY
0 notes
Text
Love The Way You Lie
.
Gue sempat diem sebentar lantaran masih cukup shock dengan kenyataan yang gue hadapi malam-malam begini. Nih cewek ternyata satu kampus sama gue, satu angkatan pula. Gue lirik tuh cewek yang sekarang lagi ngiler sambil nyender di pintu mobilnya, gue lirik lagi kartu yang lagi gue pegang, gue lirik lagi tuh cewek, gue lirik lagi ini kartu.
Dari nomer mahasiswanya sih kodenya 620, kalau gue nggak salah inget itu kodenya anak fakultas kedokteran. Beuh anak FK tapi mabok, terbaik emang nih cewek. Karena nggak mau terlalu kepo akhirnya gue balikin tuh kartu ke dalam dompetnya. Gue nggak suka ikut campur urusan orang, terlebih orang itu satu kampus sama gue. Bahaya juga kalau anak-anak kampus tau pekerjaan gue di luar kampus kaya apa.
Gue obok-obok lagi dompetnya sebentar dan yak akhirnya gue nemu KTPnya beserta SIM-nya juga. Gue lihat alamat di kedua kartunya sama, oke sip berarti dia nggak ngekos. Dan alamatnya pun nggak jauh, ada di daerah Dipatiukur, Bandung. Yaudahlah, motor gue tinggal di sini aja. Besok gue ambil pagi-pagi sepulang dari kampus.
"Mbak.. Bangun dong." Gue goyang-goyangin si Adele lagi badannya, tapi dia tetap nggak bangun juga.
"Sahur… Sahur… Sahur... Mbak Imsak tuh bentar lagi.." Sekali lagi gue coba bangunin tapi kayaknya dia udah tepar banget.
Gue menghela napas panjang, ini berarti gue harus ngangkat mbak-mbak ini ke dalam mobil. Mana pakaiannya minim banget lagi. Pake kalung emas juga besar banget kaya rantai kapal. Apa kagak capek tuh lehernya kalau dia jalan digantungin kalung segede itu? Bahaya banget nih cewek dandanannya, mengundang orang buat ngerampok banget.
Nggak mau membuang banyak waktu, gue langsung membuka pintu mobil BMW-nya. Tapi emang pada dasarnya gue ini kalau udah malem ya kumat gobloknya, gue lupa ada kepala itu cewek lagi nyender di pintu mobil alhasil kepalanya kejedot pintu pas gue buka dan dia langusng oleng terus menggelepar di lantai.
"Hahahahaha kejedot ya mbak? Maap yak maap." Gue malah cengengesan. Abisnya lucu sih.
Oke, ini adalah kali pertama gue masuk ke mobil mewah begini. Mobil BMW entah seri apa gue nggak terlalu peduli. Di dalamnya banyak banget printilan-printilan cewek. Dari segala macam foto box, boneka dashboard yang kepalanya bisa goyang sendiri, dream catcher digantung di spion lengkap bersama tasbih dengan lafaz arabnya. Subhanallah.
Di belakang ada jas lab kedokteran. Juga ada sepatu di kursi belakang, ada sendal, ada lipstik, ada segala macam make up. Astaga ini mobil kotor banget dah. Emang cewek sebegini kotornya ya kalau punya mobil?
Pas gue mau duduk buat nyalain mobilnya pun tiba-tiba ada yang ganjel di pantat gue. Pas gue tarik ternyata itu sikat gigi. Si Anjir ada sikat gigi di kursi supir, nih cewek gosok gigi di mobil apa gimana dah? Jorok amat.
Karena ini bukan urusan gue, jadinya gue nggak terlalu peduli buat ngerapihin kursi depan dulu. Gue asal masukin aja, peduli amat dah dia lagi ngedudukin lipstiknya sendiri. Gue sandarkan dia di kaca mobil. Setelah itu gue menyalakan mobilnya. Bahkan nyalain mobilnya pun gak pake kunci, tapi pake tombol aneh di mobilnya. Canggih beudh kaya selangkangan Robokop.
"Oke, ternyata matic. Sip deh nggak harus was-was kalau-kalau gue nabrak sesuatu." Kata gue seraya masukin gigi.
Sesaat setelah memakai sabuk pengaman, dan melihat ke area sekitar sekiranya sudah kosong apa belum, gue langsung nengok ke belakang untuk mundurin mobilnya. Tapi bukannya itu mobil mundur, lah ini malah maju waktu gue injek gasnya. Sontak gue teriak-teriak sendiri di dalam mobil.
Ya gimana nggak teriak anjir, coba lo bayangin, gue lagi fokus ngeliat ke belakang tapi ini mobil malah maju ke depan. Untung aja parkiran kosong. Kalau nabrak terus gue suruh ganti sih mati aja lah. Mahal bener nih mobil. Parfum AC sama harga diri gue juga lebih mahal parfum AC-nya.
Karena masih keringat dingin akibat insiden tadi, gue berhenti dulu untuk tarik napas. Gue nggak mau nyalain AC mobil. Baunya nggak suka. Bau strawberry aneh gitu parfumnya. Gue lirik di kanan gue ada tombol kaca. Pas gue buka, lah malah kaca depan si cewek itu yang ngebuka, bukan kaca supir.
Dia yang tadi nyender di jendela kaca langsung keluar kepalanya ngaplek di jendela mobil.
"WAAAAA… MBAK ADEL NGGAK PAPA?!" Gue kaget setengah mati karena kepalanya hampir keluar jendela. Gue langsung turun buat ngecek takutnya itu mbak-mbak lecet apa gimana. Tapi untungnya nggak papa. Gue takut pundaknya sobek.
.
===
.
Nggak butuh waktu lama untuk sampai di Dipatiukur dari tempat gue kerja. Setelah beberapa kali tersesat mencari alamat, akhirnya gue nemu dah tuh. Kebetulan itu rumah ada satpamnya juga. Gue turun untuk ngejelasin kronologinya ke satpam rumah si cewek dan satpam itu mengerti lalu mengucapkan terima kasih.
Terus gimana cara gue pulang?
Si satpam mau berbaik hati nganterin gue naik motornya. Sambil sesekali curhat, gue akhirnya dapet informasi kalau doi tinggal sendiri di sono. Orang tuanya sih ada di luar pulau jawa.
Gue dianterin sampe depan kossan. Karena sudah malam, kossan gue juga sudah sepi. Gue buka pintu gerbang dan tidak lupa buat ngegemboknya lagi. Hari itu gue pulang ke rumah pukul setengah 4 pagi. Ketika masjid di sekitaran kos mulai pada ngaji, gue baru rebahan di kasur. Gue pasang alarm untuk kelas jam 9 pagi nanti.
.
===
.
Gue itu orangnya nggak bisa tidur kalau ada suara dikit aja. Makanya kalau pasang alarm jam 9 walau gue baru tidur jam 8, gue pasti bangun. Gue kadang heran tiap nginep sama orang terus ada yang pasang alarmnya pake lagu. Panjang banget dah ada 4 menit nyala terus tapi orangnya tetep molor. Masih mending lagu, lah ada juga yang pasang alarm suara orang lagi ngaji. Bukannya teduh lah gue malah kaget dikira lagi dingajiin.
Karena hari ini motor gue masih nginep di tempat kerja, alhasil gue minjem motor Budi dulu. Budi ini pengurus kos-kosan gue. Orangnya baik banget. Supel. Keturunan jawa murni jadi sikapnya benar-benar sopan. Kucing gue lagi tidur depan teras aja dia bilang "permisi" kalau mau lewat sambil sedikit nunduk. Luar biasa.
Kuliah gue hari ini cuma sampai jam 12 siang, setelah itu nggak ada lagi. Dan biasanya sehabis pulang kuliah, gue nggak langsung pulang. Gue nongkrong dulu sama temen-temen di unit kegiatan yang gue singgahi baru-baru ini, DKM.
Ya. Gue anggota Dewan Kekeluargaan Masjid.
Pembuat alkohol yang jadi anggota DKM. Benar-benar tujuan hidup yang sungguh mulia dunia dan akherat.
Sesudah sholat Duzhur sama temen-temen yang lain. Gue sekarang duduk di area kantin di meja pojokkan deket jendela. Area kantin kampus ini emang cukup besar. Di satu kampus yang ada lebih dari 10 fakultas ini, kantinnya cuma ada satu biji doang. Oleh karena itu di salah satu gedung ada satu lantai khusus buat kantin yang isinya meja-meja doang. Nah selain dipakai buat makan, di sini juga dipakai sama unit kegiatan buat nongkrong-nongkrong juga.
Selain buat cari anggota baru, ya banyak juga yang buka laptop terus main PS bareng. Ada juga yang main kartu. Pokoknya banyak deh. Nah kebetulan DKM tahun ini lagi mau mengadakan acara sejenis LDKS gitu. Ospek untuk angkatan baru yang baru aja masuk. Sekarang rencananya mau ngemping di gunung Puntang.
Maka dari itu gue nggak pulang langsung ke kos buat lanjutin tidur. Ketika yang lain lagi sibuk diskusi, gue cuma duduk aja ngeliatin doang karena kalau boleh jujur, gue kurang tidur banget akhir-akhir ini.
Oleh karena ini kantin yang dipakai seluruh fakultas, jadi banyak sekali anak-anak fakultas lain sliweran kalau lagi jam istirahat gini. Gue yang daritadi masih ngantuk dan menatap kosong ke depan tiba-tiba nggak sengaja melihat satu sosok yang udah nggak asing lagi.
Ya, siapa lagi kalau bukan sosok cewek Adele kemarin itu. Gue udah ada firasat bakal ketemu dia hari ini, dan ternyata bener kejadian. Dan kalian tau parahnya lagi apa? Doi mesen makanan lalu duduk di meja yang cuma berjarak sekitar 4-5 meja di depan gue.
Asem.
Sontak gue langsung buang muka dong. Gue nggak mau dia sampai ngenalin gue. Bahaya banget. Apa jadinya kalau temen-temen DKM gue tau kalau salah satu anggotanya ini adalah penjual alkohol. Ya Allah bisa-bisa gue di rajam kaya orang lagi lempar jumroh.
Ini sebabnya gue memilih untuk kerja malem dan kerja di tempat yang jarang sekali didatangi mahasiswa. Tapi ya namanya lagi sial, ada aja satu dua orang yang ternyata anak kampus gue sendiri.
Gue makin lama makin gelisah, pengen izin pulang tapi rapat belum beres.
"Ngapa lo, Dim? Gelisah amat." Tiba-tiba Iqbal, salah satu rohis kampus, menegur gue.
"Bro.. Gue ijin pulang duluan yak?" Gue menimpali.
"Astagfirullah, jangan dong. Rapat baru juga mulai nih. Kita-kita juga butuh pendapat elo."
"Subhanallah, tapi gue sakit perut nih tampaknya."
"Astagfirullah. Coba boker di wc kantin aja."
"Naudzubillah! Nggak ah."
"InshaAllah nggak lama kok rapatnya, Dim. Santai yak."
"Amin.."
Lah anjir kenapa percakapan gue kaya orang lagi doa begini dah. Aduh, harus pake alasan apa lagi dong biar bisa cabut? Yaudah deh, mending malu sekalian daripada harus tatap-tatapan sama si Adele terus dia nyadar bahwa gue adalah orang yang kemarin dan ngasih tau temen-temen gue tentang kerjaan gue apaan.
"Bal.." Dengan sigap gue langsung manggil si Rohis lagi.
"…" Iqbal tidak menengok.
"Woi Iqbal." Iqbal masih tidak menengok juga.
"Assalamualaikum, Ya Akhi Iqbal kawanku."
"WAALAIKUMSALAM DIMAS SOHIBKU!!" Tiba-tiba dia langsung ngejawab. Ah dasar peler onta.
"Bal gue harus cabut cepet-cepet nih."
"Yah cuy kalau cepet-cepet nyabutnya nggak enak nanti." Tiba-tiba Boim, sahabat gue satu fakultas, nyeletuk di sebelah gue. Gue dan Iqbal langsung ngeliat ke arah Boim. Dan dia cuma ketawa gitu aja.
"Kenapa cepet-cepet, Dim?" Tanya Iqbal makin penasaran.
Aduh, kepalang basah deh ah. "Gue belum mandi besar nih, bro." Kata gue mencoba ngarang-ngarang alasan yang paling bisa diterima oleh rohis macam Iqbal ini.
"ASTAGFIRULLAH!! TIDAKLAH SAH SHOLAT ANTHUM APABILA TIDAK MANDI BESAR."
"YA NGOMONGNYA JANGAN BESAR-BESAR BANGKE!! AH GUE KEPRET JADI MODEL MAJALAH YASIN LU!!"
"Hahaha yaudah gih gih, gue kasih izin. Sesudah mandi langsung sholat ya bro." Balas Iqbal lagi.
"Iye iye. Dah ah gue cabut dulu. Im, gue cabut ya." Gue nepuk pundak Boim, dan dia angguk-angguk doang.
"Dimas, kamu tidak lupa kan niat mandi wajib apa?" kata Iqbal keras banget sampe temen-temen yang lain denger. Ngehe emang ini si kambing kupluk.
"Inget kok. Allahumabariklana kan?" Jawab gue asal sambil cepet-cepet ngeloyor pergi ninggalin kampus.
.
===
.
22.00
Gue buka Itunes di computer café, lalu memilih playlist 'lagu jam 22-23', kemudian gue pencet tombol random. Dan malam itu, yang terputar pertama adalah lagu Rihanna – Love The Way You Lie.
"Ah parah lo, Jess!" Tiba-tiba gue ngelempar lap piring ke muka Jessica yang baru aja lewat di depan gue.
"LAH SALAH GUE APA ANJIR MENDADAK DILEMPAR ANDUK SEGALA LU KIRA GUE ABIS NARIK BECAK APA?" Jessica langsung marah-marah sampai kuciran rambutnya lepas.
"Gara-gara lo nih, pelanggan cewek yang kemarin di pojok itu jadi malapetaka buat gue di kampus. Hadeeeh." Gue ngedumel.
"Loh kok bisa, mas?" Jessica mendekat.
Sebelum menjawab, gue menegak air putih dulu dalam-dalam.
"Gara-gara dia nasib reputasi gue di kampus jadi dipertaruhkan." Kata gue sambil menatap Jessica.
"Aku nggak ngerti deh." Jessica garuk-garuk kepala.
"Euh dasar bocah SMA. Entar kalau dah kuliah lu baru ngerti deh susahnya jadi gue gimana. Btw, ada PR nggak hari ini?"
"Ada kok, tapi udah gue kerjain tadi sore." Ujarnya seraya mengedipkan matanya.
"Loh tumben. Cepet banget."
"Dibantuin customer. Hahahahaha."
"Yeeee pantes. Yaudah mau dibantuin siapa gue nggak peduli, yang penting lo harus beres sekolahnya. Inget, sekarang sudah ada program wajib belajar 100 tahun."
"SEMBILANG TAHUN BANG :((("
"Hahahahahahahahahahahahahaha.”
"Eh mas, 2 bulan lagi aku kayaknya bakal fix ngekos di tempat mas deh." Tiba-tiba Jessica mengubah topik pembicaraan.
Gue yang masih minum tadi sempat sedikit tersentak kaget, gue taruh gelas gue di hadapan dia, "Emang kenapa lagi di rumah?" Tanya gue dengan nada rendah, berharap karyawan lain tidak mendengar.
Jessica menghela napas panjang sesekali, "Biasa mas. Masalah yang itu-itu lagi." Ujarnya.
Gue angguk-angguk, "Gue sih bebas, toh ini juga hidup lo. Gue rasa justru semakin cepet malah semakin bagus. Lagian gue juga makin bisa ngawasin elo. Apalagi kalau nggak salah bentar lagi lo mau UTS kan? Nanti gue bilang ke Budi deh buat nanyain ada kamar kosong atau nggak."
"Ih, ngapain?" Jessica ngelempar lap piring tadi kembali ke gue, "Gue di kamar lo aja, mas. Kita joinan." Sambungnya sambil nyikut tangan gue pelan.
"GUNDULMU!"
"Hahahaha tapi kan biar bagaimanapun juga kossan lu itu itu kossan putri. Jadi boleh dong gue di kamar yang mana aja." Termasuk di kamar lu.” Sanggah Jessica.
Yak. Gue yang sekarang memang tinggal di kossan putri. Aneh kan? Ceritanya panjang banget sih. Tapi intinya di kossan itu, gue dan Budi adalah satu-satunya cowok di sana. Sisanya cewek semua. Nanti kapan-kapan gue ceritain kenapa gue bisa ada di kosan itu. Bagaimana kondisinya. Berapa jumlah kamernya. Dan siapa-siapa aja penghuninya.
"Serah lu deh. Eh, sekarang hari selasa kan? Shift sampe jam ber.."
Belum sempat membereskan kalimat gue, pintu cafe tiba-tiba ini dibuka sehingga lonceng yang ada di atasnya berbunyi. Gue yang tadi lagi ngomong sama Jessica langsung berbalik dan mengucapkan salam selamat datang.
"Selamat Datang. Silakan du…"
Gue terdiam.
Jessica juga terdiam.
Jessica ngelirik gue.
Jessica kemudian narik-narik kerah baju gue.
"Mas mas.. Itu cewek yang kemarin kan?" Tanyanya bisik-bisik.
Gue masih diem.
"Mas, cewek itu dateng lagi tuh." Kata Jessica lagi.
"IYA JES GUE JUGA BISA LIAT AH LU!"
"Gih urusin gih orderannya."
"Aduh Jes, elo aja deh. Gue males ah."
"Lah kenapa? Tumben-tumbenan lu jiper sama cewek."
"Ye bukan gitu. Udah sana sama lu aja ya please. Gue udah cukup kacau kemarin gara-gara itu cewek. Gue nggak mau makin sial hari ini." Gue mencoba merayu Jessica.
"Moh ah. Mas aja. Hahaha.. Jodoh lu kali tuh. Baybay Mas Dim~" Balas Jessica yang kemudian langsung ngeloyor pergi ninggalin gue.
Aduh.
Gimana nih?
Gue bener-bener nggak mau ngobrol sama cewek itu semenjak tau dia sekampus sama gue. Pokoknya sebisa mungkin gue harus menghindarkan percakapan panjang agar dia gak inget sama muka gue. Please please please..
Dia sekarang masih ngeliat-ngeliat menu di atas dapur gue. Sambil kemudian menarik kursi dan duduk di tempat yang sama seperti tempat ia duduk kemarin.
Gue menghela napas panjang, lalu berjalan gontai menghampirinya. Tidak lupa dengan gaya yang sama, sambil ngelap gelas.
.
.
.
Bersambung
550 notes
·
View notes
Text
RENJANA
“Jika Dewi Shinta lebih dulu bertemu Rahwana, akankah dia tetap mencintai Rama, ketika mereka dipertemukan? Mungkinkah jika ia malah mencintai Rahwana? Bukankah Shinta sosok yang ditakdirkan untuk setia?”
Barangkali cinta akan lebih indah ketika tidak diungkapkan. Sekedar dinikmati sendiri. Senang sendiri. Sedih sendiri. Bahkan menikmati rindu sendirian. Bukankah menikmati kesendirian lebih baik, dari pada membunuh kebahagiaan orang lain. Namun apakah Tuhan sudah memikirkan soal keadilan ketika menciptakan cinta. Maksudku, apakah ada keadilan ketika kita bicara soal cinta. Ataukah cinta memang hanya butuh rasa saling suka, dan tentu saja nafsu belaka.
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berlarian di atas kepalaku, Shinta. Setidaknya jawaban itu belum pernah aku temui sampai senja ini. Ketika aku bisa duduk bersanding denganmu, di senja yang merah. Senja yang tidak biasanya. Ada sedikit bau anyir darah di senja kita.
Shinta, menatap senja sama halnya mengenang masa lalu kita. Suatu sore yang basah, masih dengan senja yang sama tepat sepuluh tahun yang lalu. Kau menemuiku di kedai yang sama, dengan aroma kopi yang selalu menggoda. Tentunya kupilihkan tempat di samping jendela agar kita lebih leluasa menikmati senja. Seperti hari-hari sebelumnya secangkir cappuccino dan beberapa potong tiramisu. Kala itu kita masih malu-malu untuk mengakui tentang cinta. Kau pun masih seperti hari-hari sebelumnya dengan rambutmu yang tergerai. Lalu sinar wajah yang alami tanpa sapuan make up, namun begitu memesona untuk dilihat oleh puluhan pasang mata yang ada di kedai kala itu. Lalu kau menghampiriku, meski agak terlambat sepuluh menit dari waktu kita. Namun Shinta, ada yang berbeda darimu sore itu. Bukan dari gaun merah yang kau kenakan kala itu. Bukan pula tumpukan amplop yang kau bawa di cangkingan tasmu. Bukan, bukan itu. Matamu sembab, Shinta. Padahal aku belum menyodorkan cincin yang minggu lalu aku beli di Singapura. Aku juga belum berkata apa-apa tentang rencana kedatangan orang tuaku ke rumahmu. Aku belum sempat berucap apa pun sore itu. Namun kau datang dengan matamu yang sembab. Duduk di depanku, meletakkan cangkinganmu di samping kursi lalu diam. Aku pun diam menunggu ketenangan di deru nafasmu.
“Rah? Apakah Salwa benar-benar mencintai Amba kala itu?” tiba-tiba kau melahirkan kata. Namun pertanyaanmu begitu ganjil kala itu.
Salwa memang benar-benar mencintai Amba, Shinta. Namun harga diri seorang laki-laki kala itu memang harus ditentukan lewat pertempuran. Dan Salwa memang kalah tanding dengan Bhisma, jawabku kala itu. Lalu entah mengapa kamu langsung menggebrak meja. Hujan jatuh di sudut matamu. Seketika kau tutup wajahmu kala itu. Aku pun tenggelam bersama kisah sedihmu.
“Tapi kenapa, Salwa tidak memperjuangkan cintanya pada Amba? Dan membiarkan Amba terombang-ambing dengan rasa bersalahnya. Apa itu bukti cinta Salwa?” pertanyaanmu sontak membuatku terdiam Shinta.
“Ataukah Bhisma juga sebenarnya mencintai Amba?” pertanyaanmu yang ini semakin menenggelamkanku dalam kediaman. Aku tak mengerti maksudmu sore itu.
Lalu tentu saja, kediamanku kau pecahkan dengan amplop putih bergambar merpati yang bertuliskan namamu. Kau menyodorkan padaku. Ada penyesalan yang terpancar di sudut matamu. Matamu masih sembab, sisa-sisa tangisanmu mengembun di bola mataku. Namun aku mencoba membendung jatuhnya rintik hujan kala itu.
“Bulan depan aku menikah, Rah. Rama melamarku.” terbata-bata kau rangkai kalimat yang mendiamkanku. Mendiamkan seluruh darah dan denyut cintaku.
Nama itu sudah terpatri jelas di amplop yang kau bawa. Rama Wijaya—seseorang kala itu pernah kau kenalkan sebagai mitra kerjamu. Matamu masih sembab, namun bulan sudah berangkat ke ruang kerja. Bintang-bintang bertaburan, nampaknya malam bersuka cita menyambut pernikahan kalian. Namun gemuruh di hatiku kala itu tidak bisa kubendung Shinta. Air mataku luruh bersama kepergianmu dari kedai kala itu. Barangkali itu tangisanku yang pertama kali sejak tangisanku saat tertabrak motor ketika berusia sepuluh tahun.
Namun sekarang sudah berbeda, Shinta. Mulai sekarang dan mungkin tahun-tahun ke depan kau milikku Shinta. Kini kau sudah ada di pelukanku, menikmati senja yang memang bertambah merah sore ini. Kita duduk bersama di loteng rumahmu menikmati ritual senja seperti masa-masa indah kita dulu. Kubopong tubuh mungilmu dari lantai satu ke lantai dua. Kurebahkan tubuhmu dengan pasrah di kursi kayu yang sudah kusiapkan untuk kita. Kau begitu cantik meski matamu tertutup, dan darah mengucur dari perutmu. Bibirmu yang merah merona begitu manis. Kubelai rambutmu yang tergerai. Nampaknya kau begitu menikmati ritual senja kita.
Shinta, sejak cinta hadir di antara kita. Aku sudah merasa bahwa mencintaimu adalah bahagia dan sedih—seperti yang pernah dikatakan Rendra. Bahagia karena memilikimu di dalam hatiku. Dan sedih karena mencintaimu sama halnya merelakan sebuah perpisahan yang entah kapan datangnya. Dan memang perpisahan itu benar-benar terjadi Shinta. Dua puluh Mei sepuluh tahun yang lalu, di jari manismu melingkar cintanya. Cinta Rama.
Namun aku mengerti Shinta, jauh di lubuk hatimu masih kau bungkus rapi parsel cintaku. Terbukti berkali-kali kau mendatangiku dalam mimpi. Setangkai bunga kamboja dengan pita hitam yang melingkarinya. Kau masih sama, dengan rambutmu yang tergerai dengan gaun merah, kala itu. Samar-samar sering kujumpai permintaan untuk menengokmu. Nampaknya kau rindu padaku. Lalu kumantapkan pada puncak niatku, aku akan mengunjungimu dan menunaikan kerinduanku.
Seperti dendam, rindu juga harus dibayar sampai tuntas. Namun rasanya rindu dan dendam dalam hatiku sudah mendidih pada titiknya, maka siang ini, aku mantap menuntaskannya. Aku mendatangi rumahmu yang megah, berbekal pisau kecil yang kusembunyikan pada karangan bunga. Hari ini rinduku harus tuntas.
Aku datang tepat pukul dua belas di arlojiku. Setelah turun dari taksi, aku masuk melewati gerbang rumahmu yang memang tak pernah kau kunci. Kupencet bel rumahmu—aku berharap kau yang membukanya untukku—, agak lama kau biarkan aku membeku di depan pintu. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari dalam, samar-samar kuintip dari jendela rumahmu. Aku kenal orang itu. Pintupun terbuka, aku berjalan mendekat dan menarik pisau yang kuselipkan pada karangan bunga. Lalu kutusuk tepat di rongga perut kiri. Laki-laki itu mengeram kesakitan. Kutarik lagi dan kupotong nadi yang ada di lehernya. Rama mati dalam sekejap. Darahnya membanjiri ruang tamumu.
Anakmu yang masih balita saat itu mendekat ke mayat Rama. Dia agaknya belum paham yang dialami ayahnya. Pa-pa. Pa-pa. Dua kata itu terucap sambil berlari girang ke arah Rama. Tiba-tiba kudengar teriakanmu dari ruang tengah, sambil berlari air matamu banjir. Nampaknya kau begitu bahagia menyambut kedatanganku. Sudah lama sekali Shinta, kita tidak bertemu.
“Ayah! Apa yang kau lakukan pada Suamiku!”
Aku agak kecewa, kala itu. Kau mengambil guci yang ada di sudut ruang tamu. Sambil berlari kau lempar kepadaku. Apakah ini sambutan hangatmu, setelah sekian lama kita tak temu. Aku spontan menghindar. Kau peluk anakmu, lalu kau lari lagi ke ruang tengah.
Aku yang masih ingin bertemu denganmu, mengikutimu. Kulihat kau mengunci anakmu di kamarnya. Kau keluar dengan pisau dapur. Entah setan apa yang merasukimu Shinta. Tiba-tiba kau ingin membunuhku. Padahal aku telah membebaskan cinta kita. Rama sudah tiada. Sekarang kau milikku seutuhnya.
Namun nampaknya setan merasuk lebih dalam ke relung jiwamu. Dua kali sabatan pisaumu mengenai pipi dan lenganku. Aku berusaha menyadarkanmu, bahwa kita seharusnya bergembira. Kitalah yang memiliki dunia.
“Kau gila, Rah! Kau gila!” sabatanmu membabi-buta memecah segala yang ada.
Ruang tengahmu berantakan. Piring kau lempar. Guci kau lempar. Bahkan kau coba melempar TV mu. Namun nampaknya kesedihanmu, melemahkanmu. Tapi, tapi kenapa kau harus sedih Shinta. Nampaknya aku harus mendapat jawaban darimu. Kudekati tubuhmu dengan berlari. Lalu kupukul tengkukmu. Kau pingsan seketika.
“Kau gila, Rah! Kenapa kau lakukan ini padaku?” isakmu kala itu. Sengaja aku ikat tanganmu agar kau mau berbicara denganku. Bukankah, kita saling mencintai, tanyaku padamu.
Air matamu kembali merembes. Matamu sembab, seperti sepuluh tahun yang lalu. Tak ada kata maaf atau terima kasih darimu. Hanya cacian dan omong kosong tentang cintamu dengan Rama. Tentang Arjuna buah hati kalian. Atau tentang mitos keabadian cinta Rama-Shinta. Diam! Teriakku. Aku muak. Aku muak, mendengar celotehmu Shinta. Lalu kutusukkan pisauku ke rongga perutmu. Hujan turun dari sudut matamu.
“Biadab, kau Rah! Inikah bentuk cintamu padaku?” kau mengisak menahan lukamu.
Lalu kubopong tubuhmu yang berlumuran darah menuju loteng rumahmu. Ada sedikit senyum tertambat di bibirmu. Barangkali kita bisa menikmati senja bersama lagi Shinta.
“Aku mencintai Rama. Karena aku setia padanya. Jadi inikah tendesi cintamu, Rah?” kau masih mengisak, dengan tubuhmu yang terkulai. Matamu sembab.
“Tapi, terima kasih, Rah. Karena sudah mengabadikan cintaku padanya.” Suaramu terpotong, nafasmu yang telah hilang.
Ya, Shinta, harus kuakui. Mencintaimu adalah bahagia dan sedih. Bahagia karena memilikimu di dalam hatiku. Dan sedih karena cinta kita tak pernah bersatu. Aku mengakhiri nyawamu bukan karena aku membencimu. Namun aku takut, ada yang memilikimu lagi, selain aku. Dan akhirnya tubuhmu kubopong untuk menikmati senja terakhir kita. Aku sadar, mencintai adalah tentang kerelaan. Dan memang ada cinta darimu yang kau titipkan padaku. Aku sadar, ketika tangisan anakmu mulai memanggilku dari kamarnya.
***
Ditulis dengan penuh kerelaan, untuk yang mencintai dalam kenangan. Dipublikasikan di Radar Surabaya edisi Minggu, 1 Oktober 2017
1 note
·
View note
Text
Incompatible Zodiac Sign
[ LINE PC with Lealia ]
Eh salah kirim bil
Btw katanya seru lho
Udah nonton?
Bagas mengirim pesan chat itu kepada Lealia. Sebenarnya bukan salah kirim, tapi sengaja. Dia ingin mengajak Lealia nonton tapi gengsi kalau mengatakannya langsung. Bicara soal Lealia... dia adalah teman Bagas yang spesial. Sudah 3 tahun ini mereka dekat sampai Bagas memberi gadis itu panggilan kesayangan. Si gembil, cocok untuk merepresentasikan pipi Lealia yang gembil. Kedekatan mereka itu tidak bisa dikatakan teman biasa. Diam-diam Bagas menyimpan rasa yang lebih kepada Lea, namun belum punya keberanian untuk menyampaikannya selama 3 tahun kedekatan mereka.
[ LINE PC with Lealia ]
Tadinya mau kirim ke siapa?
Belooom. Kamu udah?
Hari ini di Starbucks ada promo 25rb-an loh.
Kepo
Belum juga hehe cie hehe
Promo apaan?
Biarin dong
Cie aja terus. :-) Lebih jagoin Batman atau Superman?
Promo ChocoRilla! Aku mauuu
Jagoin IronMan sih aku :-)
Kamu pulang jam berapa?
IronMan kan mirip papaku!
Jam 2, tapi mau ngerjain tugas sebentar sampe jam 3. Kenapa?
Lah IronMan mirip calon mertuaku
Yah- aku ada latihan jam 4
Loh, emang udah nemu calon mertua?
Latihan apa kamu?
Udah
Latihan bal-balan tapi pake tangan
UN aja dulu Gas. :-)
Bal-balan? Aku bacanya bala-bala. :-( Laper.
Moodbreaker banget si -_- masih minggu depan
Makan. Buknnya curhat
Habisnya futuristik banget mikirinnya mertua. :-)
Aku mau seblak. :-(
Bagus dong biar masa depan tertata :-)
Jadinya kamu mau ChocoRilla apa seblak? -_-
Dasar Cancer.
Aku mau makan seblak sambil minum ChocoRilla. :-(
Bagas berpikir, mulai memetakan rencana kencan dadakannya senja nanti. Sampai mengeluarkan note dan pensil segala.
Dia menuliskan.
1. Jemput Lea
2. Beli Seblak
3. Beli ChocoRilla
4. Nonton(?)
Masih banyak tanda tanya. Pertama, jemput dimana dan jam berapa.
[ LINE PC with Lealia ]
Kamu ngerjain tugasnya dimana, mbil?
Di sekolah. Kenapaaa?
Sekolah. Bagas menambahkan tanda panah setelah kalimat 'Jemput Lea' dan menuliskan kata 'sekolah'. Tapi dia kan masih ada latihan basket jam 4 nanti? Masa iya Lea disuruh menunggunya selesai latihan? Kata Alan (sahabat dekat sekaligus konsultan cinta "Treat her like a princess, jangan buat dia menunggu". Dalam kasus ini, Bagas merasa dirinya adalah Steve Rogers sementara Lea adalah Peggy Carter.
[ LINE PC with Lealia ]
Kamu ngerjain tugasnya gak bisa sampek jam 6 sore aja?
Sedetik kemudian dia baru sadar. Kok jadi terkesan maksa?
"Aduh bego!"
Tapi terlanjur deliv. Mau gimana lagi.
[ LINE PC with Lealia ]
Ya nggak bisa lah, nanti aku jaga sekolah dong sama satpam? -_-
Nah kan balasan yang tadi sangat tidak layak. Lea belum pernah mengirim emot-muka-bete itu ke Bagas. Baru sekarang. Yakali belum jadian aja udah bikin bete. Jangan sampek.
[ LINE PC with Lealia ]
Eh anu itu maksudnya gini
Aku kan latihan jam 4
Kamu mau aku ajakin latihan dulu? Bentar doang. Sekalian alibi biar bisa pulang duluan
Sudah deliv, Bagas mikir lagi. Apa dia tidak terkesan bawel tadi? Kenapa ngechat doang bisa bikin dia banyak mikir begini?
"Serius amat kayak lagi dikejar rentenir aja, Gas!" Tepukan mendadak di pundaknya nyaris membuat Bagas menjatuhkan ponselnya.
"Tsk!" Bagas berdecak, kemudian menendang kaki si pelaku, Alan.
"Lea pasti ya?" goda Alan sambil ngekeh.
"Berisik."
Tak lama kemudian, balasan dari Lea muncul.
[ LINE PC with Lealia ]
Mau sih
Tp ga ganggu nih kalo aku ikutan?
"Gak capek di-PHP cewek, Gas?" Alan meledekinya lagi.
"PHP apaan sih? Tsk," dengus Bagas seraya membereskan alat tulisnya ke dalam tas. Diliriknya layar ponsel yang menampilkan balasan dari Lea.
"Tiga tahun itu kemana aja?" sindir Alan dengan tawanya.
Kalau dipikir lagi memang benar sih. Tiga tahun ngapain aja, kok gak jadi-jadi? Apa emang Lea gak suka dia? Atau kodenya terlalu rumit sehingga Lea tidak peka? Bagas tidak tahu kenapa gadis itu, selama 3 tahun ini kelihatan tidak ada minat khusus padanya. Mereka memang sering jalan bareng, tapi seperti teman biasa aja.
"Nanti jam 4 balik latihan," ucapnya datar sembari berjalan keluar ruang club basket untuk mengambil motornya. Dapat dia dengar tawa penuh ejekan Alan. Masabodo. Sambil berjalan Bagas membalas line dari Lea.
[ LINE PC with Lealia ]
Nggak lah. Aku jemput ya
Tiba di parkiran dia langsung mencolokkan kunci motornya, siap pergi.
[ LINE PC with Lealia ]
Okay, aku tungguin yaaa.
***
Bagas hanya butuh 3 menit untuk tiba di sekolah Lea karena jarak SMAN 3 Bogor dan SMA Bogor Raya sangat dekat. Begitulah, rumah dekat. Sekolah dekat. Sebenarnya Bagas dan Lea sudah punya banyak kesempatan untuk lebih dekat lagi. Heran kenapa gak jadi-jadi. Makanya itu, hari ini ada niatan Bagas untuk... istilah formalnya mencoba mengajak Lealia membina hubungan ke jenjang berikutnya. Istilah bekennya nembak. Tak heran jika dia begitu semangat menjemput Lea. Sampai lupa pakai helm, lupa kalau seragamnya awut-awutan. Sambil siul-siul dia mengendarai motornya ke SMA Bogor Raya. Setelah menghentikannya di depan gerbang, Bagas mengeluarkan ponsel lagi untuk membalas chat Lea.
[ LINE PC with Lealia ]
Udah di depan nih, mbil
Mendadak Bagas ingat Pak Didin, sopir pribadi Lea yang biasanya jemput. Itu juga tidak dia perhitungkan. Kalau dia ketangkep gimana?
Pak Didin itu orangnya labil. Kadang, dia bisa tiba-tiba ada di pihak Lea, tapi kalo lagi nyebelin, dia pasti pindah ke pihak mamanya. Nah, hari ini belum bisa dipastikan Pak Didin lagi nyebelin apa enggak.
Mencoba untuk tenang walau ada kemungkinan tertangkap basah, Bagas nyanyi-nyanyi di tempat. Sambil lalu ia rapikan rambutnya, sadar penampilannya agak berantakan.
"Eh, seragam."
Saat hendak merapikan seragamnya itu, ponselnya bergetar panjang. Ada panggilan masuk yang ternyata dari Lea.
"Kok nelpon? Bukannya keluar." Bagas mengernyit, namun mengangkat panggilan tersebut. "Iya, mbil?"
"Gas! Kamu harus nyumput, buruan! Aku takut kamu ketahuan Pak Didin!" Terdengar suara Lea yang teriak-teriak panik melalui panggilan mereka. Ternyata firasat Bagas soal Pak Didin benar. Suara panik Lea ini menandakan keadaan tidak aman. "Kamu sembunyi dulu gih, di balik pohon atau semak-semak kalo nemu," ucap Lea yang sukses membuat Bagas bingung. Mana ada juga semak-semak di sekolahan.
"....hah?" Saking bingungnya Bagas speechless. Tapi dia mencoba berpikir jernih untuk memutuskan jalan keluar terbaik. Dikantonginya ponsel tanpa memutus sambungan telepon, lalu ia menyalakan mesin motor lagi. Mau tak mau Bagas harus sembunyi sesuai instruksi Lea. Tapi dimana?
Dia berburu tempat aman bersama motornya, apa aja yang penting wujudnya gak kelihatan. Beruntung disana banyak pepohonan. Layaknya tentara yang sedang berperang, Bagas mengamankan diri di antara pepohonan itu. Barulah dia kembali berbicara dengan Lea.
“Berasa lagi perang aja. Udah nih.”
“Tungguin ya!” jawab Lea dari seberang. Suara gadis itu masih terdengar panik. Bagas juga bisa mendengar langkah kaki tergesanya.
Dari balik pohon Bagas bisa melihat adegan kebohongan Lea, Pak Didin, dan temannya yang dia kurang tahu namanya siapa. Cuma sebentar, sepertinya Pak Didin percaya. Mobil itu keluar dari area sekolah tak lama setelahnya. Dilihatnya Lea malah cium-ciuman sama temannya itu, membuat dia menggumam.
"Hm... kenapa gak sama aku aja, mbil?"
Tapi tidak apa-apa. Bagas harus sabar. Tinggal dikit lagi kok.
"Udah Gas, sini keluar!" Didengarnya suara Lea yang menyuruhnya keluar dari persembunyian, dia pun mengendarai motornya dan berhenti di depan dua siswi Bogor Raya, yaitu Lea dan temannya. Bagas memasang tampang ramah keren bak idola sekolah. Kan kata orang dia mirip personil boyband Korea.
"Udah belajarnya?" tanyanya sok kalem, sok perhatian.
“Belajar apaan? Lea mah kerjaannya nyalin tugas aku kalo soal matematika," jawab teman Lea usil. Mendengar itu Lea jadi kelihatan sebal, lalu cemberut dan merajuk, memukuli bahu temannya pelan. "Gas, kok mau sih sama cewek kayak gini? Liat tuh, tukang pukul. Terus pendek lagi." Bagas heran sekaligus bangga karena teman Lea ternyata hafal namanya. Sementara Bagas sendiri sudah lupa teman Lea yang ini namanya siapa.
Dua cewek itu pasti gak akan sadar kalau sedari tadi Bagas senyum-senyum blo'on selama memperhatikan tingkah Lea. Memang lebih baik jangan sadar.
"Nggak apa-apa, pendek lebih gampang didekep," jawab Bagas sambil ngekeh.
Tak hanya teman Lea ini yang komentar. Teman-teman Bagas pun sering tanya kenapa mau sama cewek bulet, pendek, dan buntel. Tapi namanya udah jatuh cinta ya, Bagas anteng menjawab kalau yang seperti itu justru imut. Membuatnya malah makin ingin mengayomi.
"Udah ah, berisik!" Lea merajuk, tetap ngambek sambil naik ke motor Bagas. "Yuk Gas, pergi aja. Biarin aja Karina mah, tinggalin aja."
Oh... namanya Karina. Baguslah sekarang Bagas tahu namanya. Jadi tidak akan bingung lagi kalau mau manggil.
"Kita pergi dulu ya, temennya Lea." Bagas lempar senyum bersahabat pada teman Lea itu sebelum motornya benar-benar melaju meninggalkan sekolah. Dapat dia rasakan kedua lengan Lea memeluknya seperti biasa. Sudah berkali-kali dipeluk begitu di atas motor, Bagas masih saja merasa spesial.
"Kita jadinya ntar tuh mau nonton, Gas?" tanya Lea keras-keras. Banyaknya hembusan angin yang menerpa membuat suara mereka tersamarkan. "Kamu mau latihan basket dulu? Yakin nggak akan hujan? Lihat deh, langitnya aja udah mendung, Gas.”
Ucapan Lea ada benarnya. Ya, namanya juga Bogor. Kalau kata orang-orang, cuaca di sini itu hanya satu. Musim hujan saja, apalagi di tanggal-tanggal seperti ini. Hujan bisa datang setiap hari. Langit juga mulai mendung. Bisa diperkirakan beberapa saat lagi akan turun hujan. Ini latihan rutin sih, jadi bisa ditiadakan karena alasan tertentu. Yah, Bagas sih justru seneng kalau latihannya gagal. Jadi bisa lebih lama bersama Lea.
"Pokoknya ke sekolah dulu deh. Jadi nggaknya latihan itu kapten yang ngatur. Kan aku bukan kapten. Hahaha," sahut Bagas. Kepalanya sedikit ia tolehkan ke belakang agar Lea mendengar.
Kini motornya memasuki gerbang sekolah, berhenti di parkiran terdekat.
"Gas, aku gapapa nih, ikut kamu? Nanti temen-temen kamu ngerasa keganggu lagi gara-gara ada aku?" celetuk Lea seraya turun dari motor Bagas.
Tepat saat itu, hujan turun dengan derasnya. Padahal Bagas baru saja turun dari motor dan mau menjawab pertanyaan Lea. Sepertinya memang tidak diizinkan latihan basket hari ini. Tapi masa rencana kencannya gagal juga?
"Gas, hujan Gas, ayo buruan!" Lea menarik tangan Bagas untuk segera berlari bersamanya. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menutupi kepalanya agar tidak kehujanan.
"Eh, deres!" Bagas melepaskan genggaman tangan Lea dan malah menggunakannya untuk menutupi kepala gadis itu, berniat melindunginya dari hujan. Sumpah ini bukan modus, tapi dia reflek melakukannya karena takut Lea kehujanan terus sakit. Pasalnya sekarang gadis mungil itu jalan dengannya, berarti tanggung jawabnya. "Ke depan kelas, mbil!" digiringnya langkah ngebut mereka ke koridor kelas terdekat dengan lapangan basket.
"Aduh, Gas, kamu basah banget. Awas masuk angin. Bawa baju ganti nggak?" tanya Lea dengan nada khawatir.
Memang sudah konsekuensi. Karena melindungi Lea, seragam Bagas jadi basah kena hujan. Menanggapi penuturan gadis itu dia hanya cengengesan.
"Gini doang gak apa-apa. Kamu tuh lebih unyil pasti lebih gampang sakit," ucapnya sok tahu. Diliriknya kaki Lea yang sedikit kotor karena terkena cipratan air hujan. Sepertinya memang tidak mungkin pergi nonton dalam keadaan begini. "Kamu tunggu di sini bentar ya. Aku mau nemuin Alan dulu," pamitnya, dengan niatan mau meminjam mantel hujan milik Alan. Siapa tahu ada yang untuk berdua. Kan manis tuh bisa dempetan hujan-hujanan.
"Ih, gak mau! Enak aja, masa aku ditinggal-tinggal sendiri di sekolah orang?" Lea protes sambil cemberut.
Mungkin karena seragam sekolah Lea berbeda sekali dengan seragam anak Smanti (sebutan untuk SMAN 3 Bogor). Pasti kelihatan lah, dia anak sekolah lain. Apalagi, warna rok seragamnya biru tua. Agak beda dengan seragam anak SMP sih, tapi bisa saja kan, ia dikira anak SMP kurang kerjaan, main-main ke sekolahnya anak SMA?
Akhirnya Bagas membiarkan gadis itu mengekor ke gerombolan teman-temannya yang juga terjebak hujan karena tak bisa pulang. Bisa dilihat ekspresi wajah Alan yang paling kontras. Jelas godain Bagas sambil menaikturunkan alis. Bagas memelototinya dan memberi kode untuk diam.
"Ada mantel hujan yang buat berdua gak?" tanyanya langsung ke inti.
"Gak ada. Gak ada yang bawa. Hahaha," Alan yang menjawab sambil tertawa, kentara sekali ingin menggoda Bagas dan Lea.
Bagas pun melotot lagi, mengerti niat Alan yang pasti sengaja bilang tidak ada.
"Enak aja mau pinjem. Kita mau pulang juga ini," jawab Joe, ikut-ikutan Alan. Pasti teman-temannya sudah dihasut oleh Alan.
"Udah yok pulang aja. Duluan, nyet," Raka makin parah, menarik mereka semua agar pergi.
‘Dasar,’ umpat Bagas dalam hati.
Jadi kesimpulannya, Bagas dan Lea terjebak di sekolah sampai hujan reda gitu? Mana hujannya deras banget. Hujan di Bogor tidak dapat diprediksi memang. Tidak jelas juga kapan berhentinya. Bagas facepalm.
"Mbil, kayaknya gak bisa jalan. Jas hujan punyaku cuma untuk satu orang...."
"Gas, kok temen-temen kamu pada pulang sih? Aku ganggu ya?" Bukannya menjawab ucapan Bagas, Lea malah membahas kepulangan teman-temannya. Dari nada bicaranya sih, dia merasa tidak enak. "Kalo ngga bisa jalan, kita tunggu di sini sampai reda ya?" tanya Lea sambil melihat ke arah lapangan. "Oh iya, sini, itu wajah sama leher kamu basah banget. Heran deh, kok basah banget gini?" Lea maju selangkah, mendekat ke arah Bagas. Tangannya yang sudah memegang tisu kering ditempelkan ke pipi Bagas, membersihkan wajah lelaki itu yang basah banget. "Kok kamu basah banget sih, bagian atasnya?" Lea terus mengelap bagian wajah Bagas sambil menggumam penasaran. Sepertinya Lea tidak sadar kalau Bagas tadi melindunginya agar tidak kehujanan.
'Tahan, Gas. Tahan.'
Bagas jadi grogi sendiri karena jarak dirinya dan Lea begitu dekat. Bisa ngobrol berdua saja jantungnya serasa ikut pacuan kuda. Sekarang malah dielapin mukanya pakai tisu. Bagas butuh EKG.
"Jalan-jalan aja terus, jadian kagak!" tiba-tiba suara temannya yang hendak ke parkiran terdengar. Bagas kaget bukan main.
"Status ngambang. Lebih dari sekedar temen, tapi gak sampek pacaran," disusul suara berikutnya, Bagas hafal itu suara si Raka.
"Udah pegang-pegangan tapi cuma dianggap temen."
Kalau saja dia tidak sedang bersama Lea, pasti Bagas sudah menendangi mereka satu per satu. Sungguh, teman-temannya itu merusak suasana. Bagas menangkupkan kedua tangannya di telinga Lea. Maksudnya ingin mencegah gadis itu mendengar ledekan teman-temannya, tapi sepertinya sudah terlambat.
"Mbil, jangan didengerin. Mereka emang rese. Pasti lagi lapar," kata Bagas, berharap Lea tidak berpikiran macam-macam.
Untungnya, Lea tidak memberi respon apa-apa perihal ledekan teman-teman Bagas. Gadis itu hanya melanjutkan kegiatannya membersihkan wajah Bagas yang basah dengan menggunakan tisu.
"Udah selesai, tuh," Lea tersenyum kecil memandangi wajah Bagas yang sudah kering dan bersih. Tapi tetap saja rambutnya masih agak basah sih.
Sempat terjadi moment of silence dan moment of salting. Sekolah jadi lengang karena kawan-kawannya pergi. Hanya suara hujan yang menyelimuti, seperti backsound dalam sebuah film remaja. Bagas dan Lea pemain utamanya. Terlebih adegan yang terjadi antara mereka saat ini, membuat Bagas deg-degan.
'Ngomong. Nggak. Ngomong. Nggak. Ngomong. Nggak.'
Bagas dalam dilema. Sebenarnya rencana awal mau ngomong sambil nonton film, jadi jika jawaban Lea cukup menyakitkan hati dia bisa pura-pura tidak dengar karena suara film yang diputar. Berhubung rencananya tidak jadi ya....
"Ekhem, mbil. Denger suaraku gak?"
Entah kenapa, Lea kelihatan salting. Apa karena sedari tadi tangannya menempel di pipi Bagas, ya? Begitu Bagas bersuara lagi, Lea segera menurunkan tangannya.
"Iya, denger kok, Gas. Kenapa?" tanya Lea, sedikit memiringkan kepalanya.
Sekarang Bagas makin grogi. Harusnya Bagas melakukan persiapan yang lebih matang. Misalnya, nonton film romantis dulu agar kalimatnya tertata semanis kisah cinta Peter Parker dan Mary Jane. Tapi tontonan terakhir Bagas malah film ghore yang dibawa Raka ke rumahnya kemarin lusa.
"Kamu kan pendek, bantet, bulet, gendut, tembem nih. Gak ada rencana memperbaiki keturunan gitu?" malah itu yang Bagas ucapkan.
"Iiih, kirain mau nanya apaan!" Lea jadi ngambek lagi. Dadanya Bagas dipukuli pelan, tapi sang adam berhasil menghalau dan menahan pukulannya. "Ya mau lah! Kasihan juga nanti anak aku kalau pendek kayak gini. Nanti dia diledekin terus sama temen-temennya!" Lea cemberut, kedua tangannya terlipat di depan dada.
Bagas sebenarnya mau menertawakan Lea, tapi karena gadis itu merajuk, dia tahan.
"Eh, ssst. Denger dulu lanjutannya." Bagas nyengir karena wajah lucu Lea yang sedang cemberut. "Nah, mau ‘kan memperbaiki keturunan. Aku bisa bikin keturunan kamu gak pendek dan bantet, Mbil. Tapi nanti aja bikin keturunannya, sekarang kita pacaran dulu yuk."
Memang kedengarannya Bagas mengatakan itu dengan lancar dan tenang. Tapi tidak ada yang tahu bahkan Lea sekali pun, bahwa jantungnya sudah seperti mau copot.
"...Hah? Tadi kamu bilang apaan?" tanya Lea. Wajahnya yang tadi cemberut sekarang malah terlihat bingung. Pandangannya dialihkan dari Bagas. Entah karena nervous atau justru karena tidak tertarik pada Bagas dan bingung cara menolaknya.Yang jelas respon Lea membuat semangat Bagas luntur perlahan. Apa kode-kodenya selama ini masih kurang?
"Ya gitu, Le," karena perubahan suasana hati, Bagas jadi memanggil Lea dengan nama aslinya. "Aku udah suka kamu lama. Nggak dari pandangan pertama juga sih. Pokoknya sejak les bareng kelas 10 itu. Lama-lama jadi makin suka. Itu aku sih. Gak tahu kamu gimana," nada bicara Bagas jadi serius.
"Aku juga suka Gas, sama kamu..." Lea mulai menjawab, tapi masih melihat ke arah lain. Sejenak Bagas optimis lagi karena Lea mengaku suka padanya. Tapi ucapan Lea selanjutnya membuat harapannya jatuh berkeping-kepin. "Aku suka. Sangat suka sampai rasanya aku pusing sendiri. Tapi..."
Ternyata benar kata orang. Pernyataan cinta yang paling sakit itu jika dibuntuti oleh kata ‘tapi’.
"Tapi apa, Le?" Bagas sudah galau duluan. Sepertinya memang akan ditolak. Bukan sepertinya lagi, tapi udah jelas.
"Itu... zodiak kamu, Gas," jawab Lea sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu Cancer, Gas. Aku Gemini... Kita sama sekali gak cocok katanya," jelas Lea.
"Hah?" Bagas speechless. Memang dia sudah tahu kalau gadis yang disukainya ini sangat terobsesi dengan astrologi. Lea suka membaca karakter orang melalui zodiaknya, tak terkecuali Bagas. Namun, kenyataan yang baru saja dia terima ini rasanya terlalu tidak adil. Dia ditolak karena zodiaknya Cancer? Anyway, Bagas bahkan gak tahu zodiaknya apa sebelum Lea yang memberi tahu.
"Kamu water sign, aku air sign, gak cocok sama sekali Gas," tambah gadis itu lagi.
"Hah?" Bagas makin tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan Lea selanjutnya. Siapa sih, yang menciptakan teori tentang cocok tidak cocoknya Cancer dan Gemini? Bagas tidak bisa jadian dengan Lea hanya gara-gara teori itu. Apa salah jika dia lahir tanggal 17 Juli? Apa dia harus minta bundanya menelan dia lagi agar bisa dilahirkan pada tanggal lain yang zodiaknya cocok dengan Gemini? "Terus gimana caranya biar aku gak punya zodiak Cancer, Le?" saking putus asanya, Bagas bertanya demikian.
"Nggak, gak bisa diubah Gas..." jawab Lea dengan nada sedih. "Aku takut kalau kita pacaran, kita beneran gak cocok dan sering berantem. Kalo nanti kita putus, gimana? Aku takut kita gak bisa deket kayak gini lagi, Gas," Lea meraih tangan Bagas dan menggenggam tangan pemuda itu erat, sesekali mengelus punggung tangannya. "Tapi percaya deh, Gas, aku sukaaaa banget sama kamu.”
Iya, tahu. Suka banget tapi gak mau pacaran. Sama aja bohong. Jadi dia pdkt 3 tahun, main kode-kodean kayak anak pramuka, tahu-tahu ditolak cuma karena zodiak? Bagas emang percaya bahwa dirinya adalah calon penyelamat dunia, tapi ditolak begini bukan berarti dia kebal akan sakitnya.
"Ya udah, kalo emang gak bisa." Lalu dia bisa jawab apa? Di-yaudah-in aja. Tidak mungkin memaksa anak orang untuk mau diajak pacaran, ‘kan? Mungkin dia harus ikut kata orang, untuk bahagia dengan cinta walau tak memiliki. "Udah lumayan reda. Aku antar pulang ya," Bagas langsung mengalihkan topik obrolan.
Lea tidak menjawab, tapi malah berjinjit dan mengecup pipi Bagas yang jauh lebih tinggi darinya. Hanya kecupan kecil, setelah itu, Lea langsung menundukkan kepalanya.
"Kamu... jangan berubah sama aku ya, Gas?" pinta gadis itu masih terus menunduk dan dengan suara yang sedikit bergetar.
Bagas sempat mematung, tidak habis pikir kenapa Lea bisa setega itu. Sudah menolaknya, tapi malah memberi harapan lagi dengan mencium pipinya. Belum lagi suara sang dara yang seperti hendak menangis, membuat Bagas luluh lagi.
"Eh, jangan nangis dong," segalau dan sekecewa apa pun Bagas tidak bisa menahan diri untuk tidak merangkul Lea, bahkan mendekapnya. "Iya, gak apa-apa. Gak usah dipikirin. Yang penting aku udah bilang dan sekarang udah lega. Aku ngerti kok."
Padahal sepik aja. Dalam hati Bagas masih galau luar biasa dan berniat akan langsung tidur saat tiba di rumah nanti.
"Gak mungkinlah gak aku pikirin, Gas," Lea malah kedengaran semakin ingin menangis ketika Bagas memeluknya. Akhirnya tumpah jugalah tangisannya. Wajah gadis itu tersembunyi di dada Bagas, meredam tangisnya. "Kamu pasti nganggepnya aku konyol banget ya... hiks, nolak kamu gara-gara zodiak doang?" tanya Lea lagi sambil sedikit terisak.
Bentar. Bagas makin bingung sekarang. Ini ‘kan Bagas yang ditolak, harusnya dia yang nangis dong. Kenapa malah Lea yang sesenggukan?
"Jangan nangis, Mbil," Bagas memeluk Lea, mengusap-usap rambut panjangnya serta mencium puncak kepalanya. "Nggak konyol, kok. Semua orang punya prinsip. Kebetulan teori kecocokan zodiak itu udah jadi prinsip kamu dan aku gak berhak maksa kamu buat ngubah prinsip itu. Aku gak akan berubah. Besok aku antar jemput les kayak biasanya. Kalau perlu, aku temui mama kamu buat minta izin. Biar gak perlu main kucing-kucingan lagi sama Pak Didin. Gimana?" Ya, namanya juga udah sayang. Ditolak dengan alasan gak masuk akal pun tetap bertahan. Bagas melonggarkan pelukannya, menangkup pipi Lea dan menghapus air matanya. "Kasihan pipinya tambah bengkak kalo nangis, Mbil."
"Iya... Aku mau diantar jemput sama kamu kayak biasanya," jawab Lea sambil mencoba menghapus sendiri air matanya yang mengalir ke pipi. "Kamu memangnya berani ketemu mamaku?"
Bagas lega mendapati tangis Lea mereda. Setidaknya pulang nanti tidak bawa anak orang dalam keadaan menangis.
"Ya rada takut sih. Tapi udah biasa ngadepin yang kayak gitu," ujar Bagas, bermaksud menyinggung soal bundanya yang juga cerewet. "Dimarahi dikit gak masalah. Yang penting aku gak kelihatan kurang ajar karena nyulik kamu terus." Bagas mencubit pipi Lea. "Udah yok, pulang dulu. Soal yang tadi jangan terlalu dipikirin. Belajar aja buat UN." Mulai sok bijak lagi, Bagas merangkul Lea menuju parkiran tempat motornya berada.
“Gak mungkin gak aku pikirin, Gas..." jawab Lea, ikut berjalan bersama Bagas menuju tempat parkir motor. "Jadi, hari ini kita gak jadi jalan nih?” Lea mendadak mengalihkan topik. “Terus kita mau nonton Batman vs Superman nya kapan, Gas? Aku udah penasaran banget tauuu!"
Tiba di dekat motornya, Bagas memberikan satu helm (yang memang selalu dia bawa selain helmnya sendiri, sejak naksir Lea) kepada Lea.
"Kapan ya?" Bagas mencoba mencari hari yang tepat. "Minggu depan UN. Takut ganggu belajar kamu."
Kalau Bagas sendiri sih tidak apa-apa. Sudah belajar dari jauh-jauh hari dan memang biasanya H-7 ujian dia sudah bersenang-senang. Masalahnya, dia tidak yakin Lea begitu. Bagas menunggangi motornya setelah memakai helmnya sendiri, kemudian menyalakan mesin motor.
"Gak ganggu kok, engga!" Lea menjawab dengan yakin. Sepertinya gadis itu sudah kebelet ingin nonton film produksi DC itu sampai tidak bisa menunggu sampai UN selesai. Setelah selesai mengenakan helmnya, Lea naik ke atas motor dan memeluk Bagas seperti biasanya. Tadinya Bagas mau tersenyum, tapi ingat penolakan tadi. Senyumnya urung mengembang. "Pokoknya aku mau nonton itu sebelum UN! Kalau gak sama kamu, ya sudah aku nonton sama yang lain aja!" ancam Lea.
"Yaudah nonton aja sama yang lain. Aku juga gak begitu minat sama produk DC," ucap Bagas seiring melajunya motor meninggalkan sekolah. Ia jadikan label saingan Marvel itu sebagai alasan, tapi hanya bercanda. Dia ingin tahu seberapa nekatnya gadis itu nonton dengan orang lain. Kalau pun tetap nonton dengan yang lain, pasti tak jauh dari teman perempuannya, atau karibnya satu yang bernama Zayn itu.
"Ya sudah, aku nonton sama Faza aja ya? Temenku yang Libra itu," jawab Lea. Ah, lagi-lagi statusnya terancam karena zodiak.
"Hm- zodiak aja terus," Bagas menggumam di balik helm. Entah Lea dengar atau tidak. "Jumat malem habis les. Jangan minta makan macem-macem tapi biar gak telat ke sananya," kata Bagas akhirnya.
Bukan berarti dia percaya zodiak Libra akan menggeser posisinya. Gak mau aja Lea merasa lebih nyaman dengan orang lain dibanding dirinya.
"Yay! Asyiiik!" jawab Lea kegirangan.
Jarak dari Smanti ke rumahnya memang dekat. Lea dan Bagas kini sudah tiba di depan rumah Lea. Bagas menghentikan motornya di depan pintu pagar. Ditungguinya Lea turun dan melepas helm.
"Makasih ya, udah anterin aku pulang." Lea menambahkan senyum di akhir kalimatnya. "Jangan lupa hari Jumat! Aku gak sabar pengen liat Ben Affleck!" Lea mengingatkan lagi sebelum mulai melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Hati-hati di jalan, Bagas!"
Bagas memperhatikan gadis yang dia sukai itu berjalan dengan riang ke dalam rumahnya. Hari ini tidak berjalan sesuai keinginannya. Mulai dari kencan yang gagal karena hujan, sampai proses confession yang akhirnya ditolak. Sakit sih, tapi bukan berarti Bagas akan menyerah sampai di sini. Dia yakin ke depannya akan banyak jalan untuk mendapatkan hati Lea dan menjadi pacarnya, walau Cancer dan Gemini (katanya) tidak cocok.
***
"Nah, mau ‘kan memperbaiki keturunan. Aku bisa bikin keturunan kamu gak pendek dan bantet, Mbil. Tapi nanti aja bikin keturunannya, sekarang kita pacaran dulu yuk."
Bagas tidak tahu bagaimana isi hati Lea sebenarnya. Lea juga menyukai Bagas sejak lama. Memang awalnya dia in denial terhadap perasaannya sendiri hanya gara-gara zodiaknya dan zodiak Bagas tidak compatible. Tapi lama-lama dia semakin yakin bahwa dirinya sangat menyukai Bagas.
Lea jadi salting banget saat tiba-tiba Bagas mengajaknya pacaran. Salting sampai tidak berani untuk menatap wajah cowok itu. Jadi aja, sekarang Lea nunduk terus ke bawah. Sekali-kali pandangannya ia alihkan ke sekeliling sambil menunggu perkataan apa yang akan Bagas ucapkan selanjutnya.
"Ya gitu, Le," ucap Bagas, membuat Lea jadi cemas karena lelaki itu memanggil nama aslinya. "Aku udah suka kamu lama. Nggak dari pandangan pertama juga sih. Pokoknya sejak les bareng kelas X itu mulai numbuh-numbuh sukanya. Lama-lama jadi makin suka. Itu aku sih. Gak tahu kamu gimana." Nada bicara Bagas jadi serius.
Lea malu sekaligus senang mendengar pengakuan dari Bagas. Sebetulnya, ia sudah tahu kalau Bagas suka juga pada dirinya. Tapi entah kenapa lebih senang mendengarnya dengan langsung seperti ini. Ini sangat jelas, Bagas benar-benar suka padanya. Bukan hanya kode atau apapunlah itu yang menimbulkan banyak spekulasi yang bisa jadi salah.
Gadis itu menghela napasnya, mencoba untuk tenang. Ia sangat ingin loncat-loncat kegirangan karena lelaki ini. Tapi ia harus tetap tenang, bukan?
Lea suka sekali pada Bagas. Sangat suka. Tapi entahlah, ia tidak tahu apakah ia ingin berpacaran dengan lelaki itu?
Masalahnya... Bagas itu Cancer. Sedangkan Lea Gemini. Zodiak mereka benar-benar berlawanan, Tidak cocok. Tidak cocok sama sekali. Kalau mereka pacaran lalu putus, gimana? Nanti Lea gak bisa deket-deket Bagas lagi dong? Lea gak mau itu sampai terjadi.
"Aku juga suka Gas, sama kamu..." Lea menjawab grogi. Ia melihat ke arah lain. Yang penting tidak melihat wajah Bagas. "Aku suka. Sangat suka sampai rasanya aku pusing sendiri. Tapi..."
"Tapi apa, Le?"
Lea menatap wajah lelaki itu. Rautnya berubah jadi... sedih? Aduh, Lea jadi gak tega kan jawabnya.
"Itu... zodiak kamu, Gas," jawab Lea sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu Cancer, Gas. Aku Gemini... Kita sama sekali gak cocok katanya," jelas Lea.
"Hah?" Hanya itu respon Bagas dan Lea memakluminya. Kesannya memang kekanakkan sekali sih, menolak gara-gara zodiak mereka tidak kompatibel. Tapi mau bagaimana lagi? Lea sangat terobsesi dengan hal-hal astrologi.
"Kamu water sign, aku air sign, gak cocok sama sekali Gas," tambah gadis itu lagi. Masih menolak untuk memandang wajah Bagas, Tidak mau melihat lelaki itu bersedih.
"Hah?" Lagi-lagi Bagas terdengar shock. "Terus gimana caranya biar aku gak punya zodiak Cancer, Le?"
Lea rasanya ingin menangis saat Bagas bertanya begitu. Sungguh, hatinya juga sakit menolak Bagas seperti ini. Ia suka Bagas, sukaaaa sekali. Bisa dikatakan mungkin bahkan lebih dari suka? Lea sayang Bagas sampai-sampai hatinya merasa sakit juga menolak lelaki itu.
"Nggak, gak bisa diubah Gas..." jawab Lea dengan sedih. Gimana dong? Kenapa sih, Bagas bukan Aquarius, Libra, atau Leo yang cocok dengan Gemini? Kenapa ia harus Cancer sih? "Aku takut kalau kita pacaran, kita beneran gak cocok dan sering berantem. Kalo nanti kita putus, gimana? Aku takut kita gak bisa deket kayak gini lagi, Gas," Lea meraih tangan Bagas dan menggenggam tangan cowok itu erat, sesekali mengelus bagian atas tangannya. "Tapi percaya deh, Gas, aku sukaaaa banget sama kamu.”
"Ya udah, kalo emang gak bisa," jawab Bagas akhirnya. Kedengaran pasrah, tapi Lea tahu kalau pemuda itu sedang kecewa. "Udah lumayan reda. Aku antar pulang ya," dia langsung mengalihkan topik obrolan.
Lea masih merasa sangat sedih, apalagi Bagas langsung mengalihkan topik pembicaraan. Tangannya terus saja menggenggam tangan cowok itu, tidak mau melepasnya pergi. Lea suka sekali sama Bagas, ia ingin nangis juga karena menolak cowok yang disukanya hanya karena masalah zodiak. Kenapa sih, water sign gak cocok sama air sign? Lea jadi kesal sendiri.
Entah dapat dorongan dari mana, Lea berjinjit dan mengecup pipi Bagas yang jauh lebih tinggi darinya. Hanya kecupan kecil, setelah itu, Lea langsung menundukkan kepalanya malu. Ingin menangis juga.
"Kamu... jangan berubah sama aku ya, Gas?" pinta gadis itu masih terus menunduk karena malu, dan juga karena sepertinya air matanya hampir saja menetes sekarang.
"Eh, jangan nangis dong." Bagas mulai mendekap tubuh Lea untuk menenangkannya. "Iya, gak apa-apa. Gak usah dipikirin. Yang penting aku udah bilang dan sekarang udah lega. Aku ngerti kok."
"Gak mungkinlah gak aku pikirin, Gas." Lea malah jadi semakin ingin menangis ketika Bagas memeluknya. Akhirnya tumpah jugalah tangisannya. Disembunyikannya wajahnya di dada lelaki itu, dirinya sudah mulai terisak. "Kamu pasti nganggepnya aku konyol banget ya... hiks, nolak kamu gara-gara zodiak doang?" tanya Lea lagi sambil sedikit terisak. Ia benar-benar sedih sekali. Sudah ingin menangis sedari tadi sebenarnya.
"Jangan nangis, Mbil," Bagas memeluk Lea, mengusap-usap rambut panjangnya serta mencium puncak kepalanya. "Nggak konyol, kok. Semua orang punya prinsip. Dalam kasus kamu, teori kecocokan zodiak itu udah jadi prinsip kamu dan aku gak berhak maksa kamu buat ngubah prinsip itu. Aku gak akan berubah. Besok aku antar jemput les kayak biasanya. Kalau perlu, aku temui mama kamu buat minta izin. Biar gak perlu main kucing-kucingan lagi sama Pak Didin. Gimana?" Bagas melonggarkan pelukannya, menangkup pipi Lea dan menghapus air matanya. "Kasihan pipinya tambah bengkak kalo nangis, Mbil."
Lea malah semakin sesenggukkan saat Bagas memberikan ciuman ringan di puncak kepalanya. Ia sedih sekali. Gadis itu benar-benar suka sama Bagas. Apa harusnya ia terima saja ya? Ia jadi menyesal. Tapi kalau beneran tidak cocok, gimana?
Ketika cowok itu menangkup pipinya, tangisan Lea jadi mereda. Kini gadis itu memberanikan diri untuk memandang wajah Bagas sambil ngangguk-ngangguk sesekali.
"Iya... Aku mau diantar jemput sama kamu kayak biasanya," jawab Lea sambil mencoba menghapus sendiri air matanya yang mengalir ke pipi. "Kamu memangnya berani ketemu mamaku?" tanya Lea bingung. Pasalnya, Bagas sudah tahu betapa cerewet dan galaknya mamanya Lea.
"Ya rada takut sih. Tapi udah biasa ngadepin yang kayak gitu," ujar Bagas. "Dimarahi dikit gak masalah. Yang penting aku gak kelihatan kurang ajar karena nyulik kamu terus." Bagas mencubit pipi Lea. "Udah yok, pulang dulu. Soal yang tadi jangan terlalu dipikirin. Belajar aja buat UN," ajak Bagas seraya merangkul Lea menuju parkiran tempat motornya berada.
“Gak mungkin gak aku pikirin, Gas..." jawab Lea jujur sambil ikut berjalan bersama Bagas menuju tempat parkir motor lelaki itu tadi. "Jadi, hari ini kita gak jadi jalan nih?" Lea mengambil satu lagi kesimpulan yang dialaminya hari ini. "Terus kita mau nonton Batman vs Superman nya kapan, Gas? Aku udah penasaran banget tauuu!"
Lea mendadak ingat rencana mereka untuk menonton film yang satu itu, super excited karena kali ini yang berperan sebagai Bruce Wayne adalah Ben Affleck, gebetannya setelah Bagas. Tiba di dekat motornya, Bagas memberikan satu helm kepada Lea.
"Kapan ya? Minggu depan UN. Takut ganggu belajar kamu." Bagas menunggangi motornya setelah memakai helmnya sendiri, kemudian menyalakan mesin motor.
"Gak ganggu kok, engga!" Lea menjawab dengan yakin. Gadis itu sudah kebelet ingin nonton film itu. Tidak bisa menunggu sampai UN selesai. Setelah selesai mengenakan helmnya, gadis itu naik ke atas motor dan memeluk Bagas seperti biasanya. Ia sangat suka memeluk cowok itu, rasanya hangat dan aman, tak tahu kenapa. "Pokoknya aku mau nonton itu sebelum UN! Kalau gak sama kamu, ya sudah aku nonton sama yang lain aja!" Lea sok-sok mengancam. Padahal dia juga gak berniat nonton sama yang lain selain Bagas.
"Yaudah nonton aja sama yang lain. Aku juga gak begitu minat sama produk DC," sahut Bagas, membuat Lea sedikit kecewa karena kedengarannya lelaki itu malah menyuruhnya nonton dengan orang lain.
"Ya sudah, aku nonton sama Faza aja ya? Temenku yang Libra itu," jawab Lea asal. Padahal ia juga tidak ingin menonton apapun atau melakukan kegiatan apapun dengan temannya itu. Ia hanya ingin Bagas, Pokoknya hanya Bagas seorang, titik. Lea hanya ingin tahu saja apa respon Bagas ketika dirinya menjawab itu.
"Hm- zodiak aja terus," Bagas menggumam di balik helm. "Jumat malem habis les. Jangan minta makan macem-macem tapi biar gak telat ke sananya," kata Bagas akhirnya.
"Yay! Asyiiik!" Lea jadi senang sendiri karena dengan membawa-bawa nama temannya yang berzodiak Libra itu, Bagas jadi mau nonton dengannya.
Jarak dari Smanti ke rumahnya memang dekat. Lea dan Bagas kini sudah tiba di depan rumah Lea. Dilihat dari garasi rumahnya sih, mobil ibunya tidak ada. Berarti ibunya belum sampai di rumah. Yes! Aman. Setelah melepas helmnya, Lea memberikan helm itu ke Bagas.
"Makasih ya, udah anterin aku pulang." Lea menambahkan senyum di akhir kalimatnya. "Jangan lupa hari Jumat! Aku gak sabar pengen liat Ben Affleck!" Lea mengingatkan lagi sebelum mulai melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Hati-hati di jalan, Bagas!"
***
Cerpen ini dibuat dari plot Satria Bagaskara Adipramana (dulu @boc_wonwoo, sekarang @rc_jwonwoo) dan Lealia Naraya Putri (dulu @boc_eunha)
0 notes